Bel pulang sekolah terdengar, kami segera keluar dari ruang kelas dengan gembiranya, dan tidak lama kemudian segera naik ke labi-labi. Karena satu labi-labi tidak dapat memuat semua rombongan kami, Dedi dan beberapa teman naik ke labi-labi yang lain.
Labi-labi yang kami tumpangi tiba-tiba berbelok ke seruas jalan. “Antar sepeda yang di atas atap dulu, Dik,” kata si kernet.
Lima menit kemudian labi-labi memasuki sebuah kompleks perumahan lalu berhenti tepat di depan sebuah rumah besar bercat putih sambil membunyikan klakson dua kali.
Si kernet menepuk lutut Fahrul yang duduk di dekat pintu, “Dik, bantu saya turunkan sepedanya.”
“Bantu, Dra!”
“Azim yang tinggi. Bantu Fahrul, Zim.”
Azim yang posisi duduknya di pojok dinding tepat di belakang sopir langsung bangkit lalu sambil merunduk dia melangkahkan kakinya pelan-pelan melewati lutut kaki kami.
Karena tiba-tiba merasa pengap dan wajahku mulai berkeringat aku pun ikut keluar. Aku memilih berdiri di dekat pintu belakang labi-labi yang terbuka. Dahan sebatang pohon mangga besar dalam pekarangan rumah di seberang jalan meneduhi tempatku berdiri.
“Itu kan Kamelia?”
Mendengar nama Kamelia disebut Nana, cepat-cepat aku melihat ke arah pintu depan rumah yang baru saja terbuka.
Benar kata Nana. Dia Kamelia. Dia masih mengenakan pakaian seragam sekolah, dan seseorang yang berjalan di sebelahnya mungkin ibunya. Tak mau berjumpa dengannya, aku pun segera bergeser dan menyandarkan badanku ke balik dinding labi-labi, tepat di antara dua kaca jendela yang berada di belakang sandaran tempat duduk Nana dan Mona.
“Fahrul dan Azim rupanya.” Terdengar suara Kamelia lalu diikuti suara pintu pagar yang dibuka, mungkin digeser ke samping.
“Sepeda kamu, Mel?”
“Iya, Rul.”
“Kawan sekolah, Meli?” terdengar suara si ibu.
“Iya, Ma. Kawan satu kelas.”
Benar dugaanku bahwa yang bersamanya itu ibunya.