Ketika kami sedang makan di warkop Balia, seorang siswi SMP datang. “Bang Balia, bungkus kopi untuk tiga orang,” katanya, lalu dia duduk di balik sebuah meja pelanggan, tak jauh dari meja kami.
Balia membuka tutup dandang tempat air yang sedang dipanaskan.
“Dik, suka minum kopi?” tanya Ardi pada si siswi SMP.
“Buat tamu ayah saya di rumah,” jawabnya acuh tak acuh.
Menggunakan centong aluminium bergagang panjang Balia tampak telaten mengeluarkan air panas dari dalam dandang di atas tungku.
“Bang, tangannya keringatan, ya?” Si siswi SMP bertanya, dan ketika aku menoleh padanya sambil menggosok-gosokkan telapak tangan di celana tatapan matanya sedang tertuju ke tanganku. Mungkin dia bertanya demikian karena sudah beberapa kali melihat kebiasaanku itu sedari dia duduk di situ.
“Iya.” Lalu aku kembali mengambil sendok dalam piring nasiku dan melanjutkan makan.
“Ada teman satu kelas dengan saya seperti abang ini juga. Dia sering pingsan dan tangannya berkeringat saat pingsan. Dia nggak boleh terlalu cape kata orangtuanya kepada kami saat kami menjenguknya di rumah sakit.”
“Kalau abang ini nggak pingsan-pingsan dia, Dik. Larinya nggak berhenti-berhenti saat main bola,” kata Riza.
“O, saya kirain sakit seperti teman saya.”
Balia mengangkat tinggi-tinggi naik turun saringan kopi di atas sebuah wadah. Gemercik sari kopi yang turun ke dalam wadah terdengar nyaring. Seketika harum aroma kopi merambat dalam udara yang kami hirup.
“Dik, kelas berapa?” tanya Ardi lagi.
“Kelas dua.”