Dalam labi-labi menuju rumah Sri, selagi teman-temanku mengobrol dan bercanda aku teringat kata-kata yang ditulis teman masa kecilku di suratnya: ‘Tidak semua orang bermaksud menyinggung perasaanku dengan kata-katanya’. Siswi SMP di warung kopi Balia tadi salah satunya. Dulunya memang membuatku tidak nyaman jika pertanyaan itu dilontarkan di depan orang banyak. Sekarang ketika menghadapi situasi seperti itu aku akan memberikan jawaban sambil tersenyum. ‘Memang bawaan’, kurasa itulah jawaban yang paling mudah.
Orang-orang yang sudah bergaul lama denganku, seperti teman-teman satu kelasku, mereka sekarang sudah sangat memaklumi kondisiku. Ketika pulang sekolah di dalam labi-labi yang pengap, teman yang duduk di sebelahku dengan senang hati mau berbagi bagian kaca jendela yang terbuka. Mereka akan membuka kaca jendela yang berada di belakang kepalanya dengan menyisakan setengah bagian terbukanya untukku.
Lalu aku memutuskan akan menjumpai Kamelia hari Senin nanti di sekolah, mungkin ketika jam istirahat. Aku akan minta maaf atas perkataanku dulu. Sekarang aku menyadari sungguh tidak pantas mengatakan tidak menyukai seseorang hanya karena suatu persoalan yang sepele.
Lalu aku teringat ketika berpapasan dengan Dedi dan Fajri yang sedang berboncengan dengan sepeda motor di jalan depan rumahku. “Mau ke mana, kalian?!” Spontan kutekan rem ban depan sepeda BMX-ku.
Fajri tampak kaget dan segera menghentikan sepeda motornya di pinggir jalan. “Jalan-jalan, Dra!”
Dedi turun dari boncengan, menyeberang jalan, lalu menghampiriku. “Mau ke mana, Dra?”
“Ayo ke rumahku.” Lalu aku menuntun sepeda masuk ke halaman rumah.
“Dedi lagi pusing katanya, Dra. Makanya kubawa jalan-jalan,” kata Fajri begitu kami bertiga duduk di kursi rotan panjang di teras rumahku.