Dalam pertandingan hari penutupan turnamen sepakbola antar kelas piala kepala sekolah, tim kelas kami menang dan meraih juara tiga. Aku tiba di rumah sudah sangat sore, sebentar lagi azan magrib.
Kata ibuku, seorang temanku yang bernama Gemala sudah tiga hari berturut-turut datang mencariku. Lalu ibuku memberitahu Gemala bahwa aku pulangnya sudah sangat sore, ada turnamen bola di sekolahku.
“Ibu ajak masuk ke rumah, tapi dia tidak mau, lain waktu katanya.”
Sebelum Gemala pulang, ibuku bertanya apakah dia teman satu sekolah denganku? Ibuku bertanya demikian karena setahu ibuku belum pernah ada teman sekolahku yang perempuan yang datang ke rumahku.
“Kalian tidak satu sekolah katanya, Dra.”
Lalu Gemala menyebut nama sekolahnya dan nama kompleks tempat tinggalnya, lalu mengatakan bahwa dia baru beberapa bulan tinggal di situ, asalnya dari Jakarta, tapi tidak lama lagi mau balik ke Jakarta karena ayahnya ditugaskan kembali ke sana.
“Dia kebetulan bersepeda lewat dari jalan kampung kita, olahraga sambil jalan-jalan katanya, Dra.”
“Katanya dia juga suka suplir, Dra,” kata ibuku lagi, mungkin karena aku masih diam. Aku tak tahu harus bicara apa.
“Mandi sana, Dra. Sebentar lagi azan.”
Aku segera masuk ke kamar mandi. Suara azan magrib pun berkumandang dari masjid.
*
Selepas salat magrib di kamar, cepat-cepat kutulis nomor telepon rumahnya di secarik kertas. Aku tidak mau terlambat tiba di telepon umum yang ada di halaman kantor polisi lalu lintas di seberang jalan raya. Itu telepon umum koin terdekat dari rumahku, jaraknya kira-kira satu kilo meter. Malam minggu sudah pasti banyak muda-mudi yang akan menggunakannya. Aku harus secepatnya tiba di sana.
Telepon umum belum ada yang menggunakannya ketika aku tiba. Segera aku masuk ke boksnya dan mengangkat gagang telepon sambil memasukkan satu koin seratus rupiah ke lubang yang terdapat di atas tombol-tombol angkanya.
Aku lupa nomor telepon rumah Gemala, padahal tadi kuucapkan berulang-ulang selagi mengayuh pedal sepeda. Kurogoh secarik kertas yang kusimpan dalam saku kiri celana. Dalam remang aku melihat nomor telepon rumahnya yang tertulis di kertas sambil memencet tombol-tombol angka di telepon.
‘Halo dengan toko Nusa Indah di sini ….’ Waduh, pasti ada angka yang salah kupencet. Kuletakkan gagang telepon di tempatnya dan segera menelepon ulang dengan koin yang lain.
‘Halo,’ Suara ibu-ibu terdengar.
“Assalamualaikum.”
‘Waalaikumsalam.’
“Gemala ada, Bu?”
‘Dengan siapa?’
“Samudra, Bu. Temannya.”
‘Tunggu sebentar.’
‘Halo, Dra.’
“La, tadi pagi ke rumah?”
‘Iya, mau mengajak kamu ke rumah Kak Vivi.’
“Kenapa harus ke rumah?”
‘Mau mengajak kamu ke rumah Kak Vivi.’
“Kalau mau ke rumahnya, beritahu dia dulu. Janjian dulu.”
‘Suntuk aku tadi, Dra.’
“Dan beritahu aku dulu kalau mau ke rumahku.”
‘Aku kira kamu nggak mau lagi jumpa denganku.’
Tiba-tiba seorang kakak-kakak datang dan berdiri di jarak tiga meteran di sebelahku. Kurasa dia juga ingin menggunakan telepon umumnya.