“Kalau dari rumahku lewat mana jalan belakangnya rumah Kak Vivi, Dra?” tanya Gemala pada suatu Sabtu siang di dalam labi-labi. Kemarinnya kami sudah janjian dengan Kak Vivi, kami akan datang ke rumahnya pada pagi Minggu besok.
“Di persimpangan jalan nanti kalau belok ke kiri kan ke kampungku, ke rumah Kak Vivi yang kanannya.”
“Jalan yang tembus ke lapangan Blangpadang?”
“Pernah lewat dari situ, La?”
“Pernah sekali saat baru tinggal di sini, waktu ke sekolah diantar Bapak.”
“Ada jembatan pendek di sebelah kanan sebelum sampai di jalan raya. Dekat kepala jembatan ada kuburan. Kita lewat dari jembatan itu nanti.”
“Besok pagi aku tunggu di depan kampus ya, Dra?”
“Langsung di jembatan, kenapa?”
“Depan kampus ramai.”
“Di jembatan kenapa?”
“Takut.”
“Kuburan?”
“Iya.”
Pada pagi minggunya kami bersepeda menuju ke rumah Kak Vivi. Setelah melewati jembatan, banyak lorong yang kami lalui. Sampai dua kali salah jalan, masuk di jalan buntu. Setelah bertanya pada seorang penjaga kios barulah nama jalan yang diberitahu Kak Vivi kami temukan.
Kak Vivi sudah menunggu kami di bangku taman dekat pohon jambu di depan rumahnya. Begitu melihat kami datang, dia langsung membuka pintu pagar. “Gampang kan cari alamat rumah Kakak?”
“Nomor rumahnya yang gampang ditemukan, Kak. Tapi....” Aku menahan tawa dan menoleh pada Gemala.
“Tapi saat cari nama jalannya malah ketemu jalan buntu sampai dua kali!” sambung Gemala.
Kak Vivi tertawa dan mengajak kami masuk ke rumahnya.
“Enaknya duduk di sini saja, Kak.” Aku langsung duduk di salah satu bangku taman di sebelah bangku yang Kak Vivi duduki tadi. Bangku-bangkunya terbuat dari besi dan di depannya terdapat sebuah meja dari gelondong bagian pangkal batang asam jawa.
“Boleh juga. Duduk, La.” Kak Vivi lalu segera masuk ke rumahnya dan sesaat kemudian keluar lagi dengan membawa empat kaleng minuman soda dan sepiring kue agar-agar coklat. “Minum, Dra. Minum, La. Makan kuenya.”
“Terima kasih Kak,” ucap aku dan Gemala hampir bersamaan. Lalu Gemala mengeluarkan sapu tangannya.
“Tangannya berkeringat juga, La?” tanya Kak Vivi begitu Gemala menyeka keringat di telapak tangannya dengan sapu tangan.
“Iya, kami sama, Kak. Seirama.” Gemala lalu menyebut istilah medis Hiperhidrosis Primer.
Selagi Gemala dan Kak Vivi mengobrolkan tentang Hiperhidrosis, aku teringat pada si kakak yang di telepon umum malam itu. Pada momen dia mengucapkan kata-kata tidak seirama. Aku menahan tawa, aku dan Gemala memang seirama dalam hal Hiperhidrosis, tapi mungkinkah kami akan seirama juga....