Kelap-Kelip Kunang-Kunang di Telapak Tangan dan Telapak Kaki Kami

Dirman Rohani
Chapter #45

Jejakmu Akan Kukenang Dalam Tulisan


Beberapa hari kemudian. Pada jarak sekian meter dari tempat biasanya Gemala berdiri, labi-labi melambat dan sesaat kemudian melaju kencang lagi. Aku menyadari betul sejak hari ini dan hari demi hari berikutnya selama pergi pulang sekolah tiada lagi Gemala duduk di sebelahku.

Labi-labi melambat lagi dan berhenti di simpang jalan sebelum gedung Taman Budaya, Kak Vivi naik dan duduk di bangku kosong, tepat di depanku.

“Dra, semangat pagi, Dra!”

“Sudah jarang naik labi-labi ya, Kak?”

“Kemarin numpang sama mobil saudara yang menginap di rumah karena lagi ada urusan di Banda Aceh. Saudara Bunda dari Medan.”

“Gemala pagi ini berangkatnya, Kak.”

“Iya, ini …” Kak Vivi membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah amplop besar coklat, “dia titip ini buat kamu, Dra.”

“Ini foto kita dulu,” katanya kemudian ketika amplop besar coklat itu kuambil. “Kemarin saat Gemala datang ke rumah Kakak, juga tanya foto. Memang Kakak cetak lebih, buat kalian berdua.”

Aku mengambil foto itu dan memperhatikannya sesaat. “Si Loser ikut-ikutan tersenyum, Kak.”

“Sudah dua hari nggak pulang, Dra. Keluyuran sama gengnya kayaknya.”

“Si Loser komandan gengnya kayaknya, Kak.” Aku lalu membuka amplop coklat itu dan melihat isinya. Ada sebuah buku di dalamnya. Aku memasukkan foto ke dalamnya lalu mengeluarkan buku tersebut.

“Mengarang Itu Gampang!” Dengan suara agak keras kubaca tulisan di sampulnya yang berwarna coklat dan bergambar karikatur seseorang yang yang sedang duduk di depan mesin tik.

“Jadi semakin bagus tulisan kamu nanti, Dra!”

Aku tertawa kecil. “Entah, Kak. Nulisnya baru untuk gaya-gayaan saja.”

“Maju terus, Dra. Berproses sambil belajar dari banyak buku.”

Aku memasukkan kembali bukunya Arswendo Atmowiloto itu ke dalam amplop dan kemudian kami berdua tidak mengobrol lagi karena labi-labi berhenti mendadak untuk mengambil penumpang yang lain.

*

Pukul sembilan lewat lima puluh lima menit. Kini waktunya tiba, aku harus keluar dari ruang kelas. Aku segera minta izin pada guru dengan alasan pergi ke toilet. Begitu melewati ambang pintu kelas aku langsung mengarah ke bangunan aula serba guna yang terpisah jauh dari bangunan-bangunan lainnya.

Setiba di tempat itu aku memilih berdiri merapat dengan dinding belakangnya supaya tidak terlihat guru piket. Kulayangkan jauh-jauh tatapanku menerobos pagar kawat berduri, melewati ribuan kilo meter hamparan sawah, hingga berakhir di kaki langit yang beralaskan barisan Bukit Barisan.

Jauh lagi di sana, agak serong kanan dari tempatku berdiri, menyembul puncak gunung Seulawah yang tingginya tampak sedikit lebih tinggi dari atap gedung aula. Di tempat yang sangat jauh itu sebelum barisan bukit-bukit terdapat suatu kawasan yang tak dapat terlihat dengan jelas lagi karena keterbatasan jarak pandangku, titik di mana landasan pacu Bandara Sultan Iskandar Muda menghampar.

Aku maju belasan meter dan berhenti di depan pagar kawat berduri. Aku yakin betul keberadaanku di pagar belakang sekolah tetap tidak akan terlihat guru piket, terhalang oleh bentuk gedung aula serba guna yang memanjang ke samping di belakangku.  

“Dra, apakah kalian mau cabut lagi?!” Terdengar suara Kek Reben, sepertinya asal suaranya keluar dari balik semak-semak, tidak terlalu jauh di sebelahku.

Tak mau momen yang kutunggu berlalu begitu saja, aku tak menoleh sedikitpun. Aku masih memusatkan perhatian ke barisan Bukit Barisan yang dari tempatku berdiri tingginya tampak tak lebih tinggi dari kepalaku.

Lihat selengkapnya