Kelas Terakhir

Nadya Wijanarko
Chapter #27

BAB 26 - KARAKTER

Aku baru check out pukul dua belas siang. Setelah mengemasi barang-barang dan membayar penginapan, aku segera bergegas menuju kampus. Perutku masih kosong. Nafsu makanku hilang. Hanya segelas kopi sachet yang mengisi perutku pagi tadi.

Aku berjalan menuju persimpangan Bandung Indah Plaza dan menumpang angkot menuju kampus. Ponselku berdering tak lama setelah aku naik. Rupanya dari Eva. Ternyata ia hari ini berada di Bandung karena diminta untuk segera menghadap Profesor dan menyerakan revisi tesisnya. Eva sendiri saat ini sedang mencetak tesisnya di sebuah rental langganannya yang terletak di komplek masjid kampus. Eva mengajakku bertemu, sekaligus makan siang bersama.

Aku menghentikan angkot di depan rumah sakit Santo Borromeus, kemudian berjalan menuju masjid yang ada di sebelah kampus. Jalan masuk menuju masjid hari itu sedikit becek. Aku harus berhati-hati agar tidak terpeleset tanah yang licin. Sayangnya, aku sepertinya kurang konsentrasi. Entah karena perutku yang belum terisi makanan sejak pagi atau memang pikiranku sedang kalut memikirkan sidang, aku tiba-tiba terjatuh. Lututku langsung beradu keras dengan batu.

“Ouch!” teriakku tertahan.

Beberapa orang menoleh. Aku segera berdiri. Malu rasanya dilihat banyak orang. Dan seolah tidak terjadi apa-apa, aku kembali berjalan ke ujung komplek masjid. Rental dan koperasi terletak di bagian ujung yang dekat dengan pintu gerbang belakang.

Aku mulai merasakan perih di lututku. Namun, aku tetap paksakan untuk berjalan. Meski rasa perih ini semakin menjadi.

“Nad!” Eva melambaikan tangannya begitu melihatku masuk ke dalam rental.

Aku menghampiri Eva dan menarik sebuah bangku untuk duduk di sampingnya. Lututku semakin perih. Aku menyelonjorkan kaki ke dalam kolong meja rental komputer yang sedang digunakan Eva agar tidak terlihat yang lain. Setelah memastikan tidak ada yang melihat ke arahku, pelan-pelan aku menggulung rok panjang yang aku kenakan. Rembesan darah terlihat pada celana panjang tipis yang selalu aku pakai di balik rok sebagai dalaman. Aku pun menggulung celana panjangku hingga lutut.

“Ya ampun! Kenapa itu, Nad?” Eva terkejut melihat sobekan luka di lututku yang mengeluarkan banyak darah.

Aku meringis. “Tadi jatuh di depan masjid.”

“Mau beli perban?”

Aku menggeleng. “Nggak usah. Nanti aja. Nggak apa-apa, kok.”

Aku kemudian menunggu Eva menyelesaikan revisinya. Setelah selesai, Eva memberikan flashdisk kepada penjaga rental dan minta dicetakkan.

“Saya tinggal, ya, ‘A. Nanti saya balik lagi ke sini,” ujar Eva.

“Iya. Nggak apa-apa,” jawab si penjaga rental.

“Mau makan?” ajak Eva.

Aku mengangguk. Kami lalu berjalan menuju deretan warung-warung di belakang masjid. Perutku sudah sangat lapar. Pakai ditambah pula dengan luka di kaki. Aku berjalan agak terpincang-pincang sehingga Eva memegangi tanganku agar aku tidak terjatuh.

...

“Bu Indri, ada Betadine atau Hansaplast?” tanyaku.

“Lho, kenapa?” Bu Indri terkejut.

“Tadi saya jatuh, Bu.” Aku nyengir.

“Ya ampun! Ini yang mau sidang, kok, malah jatuh?” Bu Indri segera membuka laci dan mengambil sebotol kecil Betadine dan dua lembar Hansaplast.

“Jatuh di mana, Mbak?” Verrel yang sedang asyik menggunting kertas bertanya.

“Di masjid,” jawabku singkat.

Aku segera beranjak ke kamar mandi. Tidak mungkin, kan, aku menyingkap rokku di depan Verrel? Dan sayup-sayup aku mendengar Bu Indri “memarahi” Verrel….

“Kamu ini katanya mau bantu menggunting undangan, tapi kok lama banget mengguntingnya? Sini! Saya saja! Kelamaan nungguin kamu, satu saja nggak kelar-kelar!” sayup-sayup terdengar suara sewot Bu Indri yang ditingkahi tawa Verrel.

Aku menutup pintu kamar mandi dan mulai menarik rok dan celana panjang tipis yang menutupi kaki. Lutut sebelah kiriku tidak terlalu perih dan hanya tergores sedikit. Yang parah adalah lutut kananku.

Darah masih mengalir dari sobekan luka meski sudah mulai berkurang. Perih terasa semakin menjadi ketika aku meneteskan Betadine ke luka tersebut. Untuk menjaga agar lukaku tidak semakin perih karena tergesek celana, aku menempelkan Hansaplast.

Setelah selesai dengan luka, aku segera mengganti kaos dengan kemeja batik untuk sidang. Aku lalu keluar kamar mandi dan menuju ruangan Bu Indri untuk mengambil tas yang aku titipkan di sana. Aku menuju lobi. Verrel sudah duduk manis di sana setelah tadi “diusir” Bu Indri. Aku kemudian menghabiskan waktu dengan mengobrol dengannya.

Sebuah pesan pribadi masuk ke ponselku. Dari Eva yang mengatakan kalau Profesor baru akan menemuinya pukul tiga sore, terlambat satu jam dari waktu yang dijanjikan. Mengingat kebiasaan Profesor yang sering berlama-lama dalam melakukan bimbingan terhadap mahasiswa-mahasiswanya, aku pun mengkhawatirkan waktu sidangku yang jangan-jangan ikut molor juga.

Pukul setengah empat sore, aku kembali ke ruangan Bu Indri untuk meminta kunci ruang sidang. Berkaca dari pengalaman pada saat ujian pratesis, aku kali ini benar-benar harus memastikan kalau semua perangkat presentasi bekerja dengan baik. Tidak boleh ada satu pun yang bermasalah.

Setelah menerima kunci, aku bergegas menuju ruang sidang di lantai dua. Dibantu Pak Agus, aku segera mempersiapkan presentasiku. Laptop, proyektor, tampilan layar, tak lupa Winamp untuk pemancing agar layar tidak mati. Selesai!

Aku duduk sambil mengutak-atik laptopku dan mencoba melakukan simulasi presentasi untuk nanti. Hanya saja, otakku terasa butek! Pendingin ruangan membuatku sedikit menggigil. Aku melihat jam yang tertera di laptopku. Pukul 15.46. Dan Profesor masih belum juga datang. Begitu pula dengan para dosen pengujinya. Aku akhirnya keluar ruangan.

Lihat selengkapnya