Kelas Terakhir

Nadya Wijanarko
Chapter #28

BAB 27 - MAGISTER

Seperti yang sudah aku duga, jadwal sidangku molor hingga satu jam. Aku sampai tidak enak kepada Pak Wagiman yang tadi beberapa kali datang ke ruang sidang, dan akhirnya memberitahukan kalau ia—juga Bu Indri serta staf lain yang ada di ruang administrasi jurusan—akan segera pulang karena hari sudah sore. Yang berjaga tinggal Pak Agus.

Aku menunggu di luar ruangan karena tadi dosen-dosen yang akan mengujiku perlu untuk berembuk sebentar. Meski, berdasarkan pembicaraan yang aku tidak sengaja mengupingnya, mereka lebih banyak membahas hal lain yang tidak ada urusannya dengan sidang. Hanya sekilas sepertinya aku mendengar Profesor seolah berpesan agar nanti aku jangan ditanya yang susah-susah (amin!).

Aku masuk ruangan setelah dosen penguji memanggilku. Aku lalu duduk di kursi yang paling dekat dengan layar, berhadapan dengan Profesor.

“Mbak Nadya apakah dalam keadaan sehat?” Tiba-tiba Profesor melontarkan pertanyaan yang—menurutku—sedikit aneh.

“Sehat, Pak,” jawabku singkat. Masakkan aku menjawab sakit?

“Ah, bohong,” sanggah Profesor.

Hah? Aku menatap Profesor. Bingung.

“Kalau benar Mbak Nadya dalam keadaan sehat, kok, tadi saya dengar kabar kalau Mbak Nadya terjatuh di depan masjid?” Profesor kemudian tertawa. Dosen penguji dan dosen waliku juga tertawa.

Dan wajahku pun memerah. Ah … siapa ini yang “ember bocor” pakai bercerita segala?

“Itu artinya Mbak Nadya grogi.” Profesor tersenyum-senyum.

Memang aku grogi, kok. Siapa yang tidak grogi dengan sidang penentuan nasibnya? Mana dalam sidang sebelumnya aku pakai dimarahi habis-habisan segala.

“Silahkan dimulai presentasinya. Tidak perlu dari awal. Cukup perbaikannya saja,” ujar Profesor.

“Untuk sidang tesis, saya inginnya ini menjadi ajang diskusi sehingga terlihat continously improvement-nya,” lanjut Profesor.

Aku pun memulai presentasiku. Dimulai dari judul (tentu saja!) karena judulku berubah. Latar belakang, permasalahan, dan tujuan penelitian aku percepat. Begitu pula dengan teori.

“Matriks yang berdasarkan undang-undang itu sudah dimasukkan?” tanya Profesor.

“Sudah, Pak.” Aku lalu melompat ke bagian-bagian akhir slide karena memang aku letakkan di situ matriksnya. Sejujurnya, alur presentasiku kali ini justru lebih berantakan dibanding ketika sidang pratesis dulu.

Matriks, lalu DPSIR, dan bagan jaringan aktor PLTH Pantai Baru. Beberapa data yang sudah aku cek ulang juga aku tampilkan. Beberapa kali Profesor memotong presentasiku. Namun, suasananya jauh lebih santai dibandingkan ketika sidang pratesis dulu.

“Itu gambar-gambar dan tanda panahnya, kok, lebih bagus daripada presentasi kamu yang dulu? Jangan-jangan yang bikin presentasi ini suami kamu, ya?” Profesor mencoba bercanda untuk mencairkan keteganganku.

Aku tertawa. Dosen-dosen penguji juga tertawa. Terutama sekali dosen waliku yang memang dosen pembimbing tesis Emile.

Aku akhirnya menyelesaikan juga presentasiku meski dengan interupsi sana-sini.

“Mbak, mari kita berandai-andai.” Profesor segera menimpali begitu aku memasang slide terakhir yang bertuliskan ucapan terima kasih.

“Seandainya Mbak Nadya meninggal, kemudian di alam barzah sana ditanya oleh malaikat tentang apa yang sudah Mbak lakukan untuk masyarakat, apa yang akan Mbak katakan?” tanya Profesor.

Lihat selengkapnya