Satu bulan berlalu sejak aku menjalani sidang tesis. Selama sebulan ini, aku berusaha menyelesaikan permasalahanku dengan kantor. Dan seperti yang sudah kuduga, perdebatan berjalan alot.
Aku bersikeras ingin bertahan di instansi yang lama karena aku ingin mengajukan pindah ke Yogyakarta. Kalaupun pindah ke instansi baru, aku ingin jaminan untuk segera pindah ke Yogyakarta.
Sayangnya, kedua keinginanku ini mendapatkan tantangan keras dari atasanku. Alasannya, kantor butuh orang. Selain itu, aku dituntut untuk membayar kewajiban “2n+1” dengan argumen kalau aku harus “mengabdi pada negara”.
Tentu saja aku tidak terima! Aku bilang, jangan reduksi konsep “negara” hanya sebatas kantor birokrasi. Ada banyak jalan untuk mengabdi kepada negara. Bahkan tukang bakso pun mengabdi kepada negara—mereka bayar pajak, membuka lapangan pekerjaan, membagi rejeki dengan orang lain, dan memberi makan kepada orang lain juga. Jangan-jangan justru tukang-tukang bakso inilah yang lebih berkontribusi kepada negara dibanding PNS.
Mungkin karena kata-kataku yang terlalu keras, akhirnya aku bertengkar dengan atasanku. Semakin runyam ketika surat peringatan itu benar-benar akan dilayangkan. Emile mau tidak mau akhirnya ikut terlibat juga. Bahkan, ia memberikan ultimatum agar aku mundur saja jika semakin dipersulit. Nyaris terjadi pertengkaran antara Emile dengan atasan eselon tigaku. Untungnya, direktur di tempatku akhirnya mau turun tangan juga untuk membantu menyelesaikan masalahku. Ada beberapa tawaran, termasuk pindah ke instansi daerah. Namun, itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Waktuku akhirnya tersita untuk urusan kantor. Segala macam prosedur terpaksa aku lakukan dengan proses negosiasi yang sangat alot. Dan aku nyaris melupakan tesisku. Berhari-hari aku menumpang di rumah orang tuaku di Tangerang Selatan tanpa persiapan.
Sabtu pagi ini, aku sudah berada di atas kereta api yang akan membawaku ke Yogyakarta. Emile sudah terlalu lama izin dan aku harus menyelesaikan perbaikan tesisku juga. Dan sebuah SMS tiba-tiba masuk ke dalam ponselku.
“Nadya, Nadine, Aisha, Raafi, Lanny. Saya berikan kesempatan untuk menyerahkan perbaikan tesis pada hari Rabu besok pukul 13.00. Kalian selalu merepotkan saya. Kalian tidak punya etika. Eva sudah menyelesaikan perbaikannya. Wass.”
Aku terbelalak membaca SMS yang dikirim Profesor tersebut. Kata-katanya tidak seperti biasanya. Aku tidak pernah mendapat SMS bernada marah seperti ini. Ada apa ini?
Isi pesan tersebut aku screenshoot dan kirim ke grup percakapan. Aku ingin tahu yang tengah terjadi sehingga tiba-tiba Profesor sepertinya begitu marah. Dan Lanny pun langsung menyambut pesanku dengan cerita bahwa ia mendapatkan telepon dari Profesor dan Profesor memarahinya habis-habisan. Aisha sebenarnya juga mendapatkan telepon, tetapi teleponnya tidak diangkat.
Tanpa membuang waktu, aku segera membuka laptop saat ini juga. Meski tentu saja sulit mengetik di kereta api dengan meja seadanya. Jujur, aku belum melakukan perbaikan sama sekali!
“Ada apa?” Emile tampak bingung ketika melihatku yang tiba-tiba menggelar laptop.
Aku ceritakan yang baru saja terjadi.
“Ya udah, benerin aja,” ujarnya singkat.
Ya. Aku tahu. Aku sedang melakukannya. Hanya sedikit, kok. Hanya saja, aku merasa otakku mandeg. Mungkin karena gugup dengan SMS barusan. Ditambah aku mengerjakannya di atas kereta api. Dan aku ingat, kalau aku pun harus membuat ringkasannya untuk dimuat ke dalam jurnal!
Isi kepalaku semakin kusut. Aku benar-benar kehilangan konsentrasi. Dan … oh … ya ampun! Hampir saja aku lupa!
Aku segera mengambil ponsel dan mengirimkan SMS balasan kepada Profesor. Jika aku tidak merespon SMS-nya, ia bisa semakin murka.
“Baik, Pak. Saya akan menghadap pada hari Rabu pukul 13.00. Terima kasih atas waktu yang telah diberikan. Saya mohon maaf sebesar-besarnya atas sikap saya yang membuat Bapak kurang berkenan.”
Sent.
Balasan pun tiba tanpa menunggu hitungan menit.
“Dimaafkan, Nadya. Wass.”
Dan sepanjang perjalanan ini aku menghabiskan waktuku dengan merevisi tesis. Jurnalnya belum aku buat sama sekali. Pikiranku buntu. Aku bingung bagaimana caranya merangkum tesisku yang lebih dari seratus halaman itu ke dalam artikel jurnal yang paling banyak sepuluh halaman.
...
Sabtu sore kami tiba di Yogyakarta. Sampai rumah, aku tidak menyia-nyiakan waktu lagi untuk membuat revisi tesis. Masih ada waktu selama empat hari sebelum hari Rabu. Seharusnya, aku bisa menyelesaikannya bahkan sebelum aku ke Bandung. Seharusnya, ya. Karena … lagi-lagi otakku buntu!
Aku benar-benar tidak menyangka jika masalah bertubi-tubi justru menyeranku setelah sidang tesis. Urusan kantor saja sudah sangat menyita waktu dan tenaga. Kini, aku malah harus menghadapi Profesor yang sepertinya sangat marah kepada kami.