Aku dan Aisha memasuki ruang kerja Profesor dengan perasaan tegang. Kami segera mengambil kursi yang paling dekat dengan Profesor—aku di sisi kanan dan Aisha di sisi kiri. Suasana benar-benar tegang.
“Kalian ini benar-benar tidak punya etika!” Profesor memuntahkan amarahnya.
Kami diam saja.
“Mana yang kamu perbaiki?” tanya Profesor kepadaku.
“Ini … Pak….” Aku menyerahkan satu bundel tesis yang masih belum dijilid.
Tak lama kemudian, Raafi dan Nadine juga masuk ke dalam ruangan.
“DUDUK!” perintah Profesor.
Keduanya pun duduk sambil menyiratkan raut wajah penuh ketegangan.
“Mana saja yang kamu perbaiki?” Profesor kembali bertanya kepadaku.
“Yang saya perbaiki … sebagaimana masukan pada saat sidang, Pak. Perbaikan bagan, episodisasi….”
“Mestinya kamu tulis daftar perbaikannya di depan! Jadi, saya tinggal mengecek halamannya!” Profesor memotong cepat ucapanku.
Aku melirik Profesor yang mulai membuka lembaran demi lembaran draf tesis yang aku buat.
“Penulisan keterangan gambar ini seharusnya di atas atau di bawah?” tanya Profesor.
Hah?
“Di atas atau di bawah?” Suara Profesor kembali terdengar, kali ini dengan intonasi lebih keras seperti membentak.
Aku langsung gugup. Karena, jujur saja, aku TIDAK TAHU!
“Tata cara penulisan yang kamu lakukan itu tidak konsisten! Ini kamu tulis keterangannya di bawah.” Profesor menunjuk salah satu gambar di tesisku.
“Namun yang ini kamu tulis di atas, jadi mana yang betul?” Profesor kembali bertanya sambil menunjuk gambarku yang lain.
“Huruf-huruf yang kamu pakai juga tidak konsisten!” Profesor kembali membuka halaman yang lain. Daftar isi, daftar tabel, kata pengantar, daftar pustaka, huruf-huruf dalam tabel….
“Ini yang benar bagaimana?”
Aku menunduk diam.
Profesor meletakkan drafku dan mengambil sebuah tesis dari lemari.
“Coba kamu lihat ini.” Ia menaruh tesis tersebuat di depanku.
Aku baru mau membukanya ketika Profesor kembali mencecarku.
“Kamu mengikuti siapa?” tanya Profesor lagi.
Aku kembali diam—dan memang aku belum bersuara sejak Profesor menanyakan tata letak keterangan gambar. Aku tidak menyangka kalau Profesor ternyata justru mempermasalahkan hal “sepele” seperti ini.
“Jangan diam saja! JAWAB!”
Kring….
Ponsel milik Profesor tiba-tiba berdering, Aku bernapas lega karena itu artinya aku tidak akan mendengar suara menggelegar Profesor yang mengerikan itu, meski hanya untuk beberapa saat. Kecuali … kalau telepon itu dari Lanny!
“Kamu ke sini sekarang juga! Kalau kamu tidak mau ke sini, JANGAN TEMUI SAYA LAGI!”
Suasana di ruangan kembali tegang.
Profesor kembali mengutak-atik ponselnya.
“Halo? Bu Indri? Bu, kalau Lanny nanti datang menghadap, jangan terima dia!” perintah Profesor.
“Anak itu tidak punya etika. Dari kemarin ngomongnya maaf terus, tetapi tidak ada upaya untuk memperbaiki diri!” lanjut Profesor.
“Ini anak-anak yang menghadap saya, semuanya tidak punya etika! Semuanya seenaknya sendiri! Padahal mereka semua ini salat, tetapi ternyata salat tidak mampu mengubah perilaku mereka! Entah apakah nanti mereka akan dapat hidayah setelah dari sini!” Profesor berkata panjang lebar di telepon.
Kami semua menunduk. Tidak ada yang berani menatap Profesor.
Setelah telepon ditutup, Profesor kembali “menggarap” kami.
“Pasti tidak ada satupun dari kalian yang menemui Bu Indri untuk menanyakan jadwal wisuda. Iya, kan?” tembak Profesor.
Tidak juga, kok. Aku tahu persis kapan jadwal wisuda.
“Tentu saja! Muka-muka PEDAGANG NARKOBA seperti kalian mana mungkin terpikir untuk mendatangi Bu Indri dan bertanya. Etika saja kalian tidak punya!”