Hari sudah sangat sore ketika kami berempat—aku, Eva, Raafi, dan Nadine—berjalan menuju masjid. Aisha tadi sudah dijemput suaminya. Tidak ada yang berbicara di antara kami. Sepertinya kejadian barusan benar-benar membuat kami semua shock. Terutama sekali aku.
Kami lalu salat asar. Selesai salat, Eva mengajakku mencari makan karena ia tahu persis aku belum makan siang. Raafi ikut, sementara Nadine memilih langsung pulang. Kami bertiga kemudian menuju kantin masjid yang harga makanannya murah meriah.
“Mbak, terima kasih, ya,” kata Raafi tiba-tiba.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kalau bukan karena Mbak Nadya, kita semua pasti kena marah.” Raafi tersenyum jahil.
“Mbak Nadya ini ibarat ‘mitigasi’ buat kita.” Raafi berusaha melucu.
Eva tertawa. Aku hanya tersenyum getir.
“Mitigasi apanya? Tumbal kali!” Aku menyendok sesuap nasi. Meski aku belum makan sejak siang, aku kehilangan nafsu makan.
“Draf tesisku dulu dilempar, Nad,” timpal Eva. Ia berusaha menghiburku—bahwa kejadian yang menimpanya masih lebih parah dibanding kejadian tadi.
“Ah, Mbak Eva curang!” protes Raafi. “Kok tadi nggak masuk ke ruangan, sih?”
Iya, ya? Eva, kan, tadi datang bersamaku dan Aisha. Namun, kenapa Eva baru masuk di saat-saat akhir?
“Aku takut tahu!” Eva menyeruput es tehnya.
“Suara Profesor tadi benar-benar seram. Sampai kedengaran dari luar. Aku mana berani masuk,” ujar Eva.
“Lanny tadi juga sebenarnya sudah datang. Namun, dia juga nggak berani masuk. Tadi aku menunggu di luar berdua Lanny,” cerita Eva.
Aku tertawa. Aku pun teringat Lanny yang saat ini masih ada di ruang kerja Profesor. Mudah-mudahan ia “selamat”, harapku.
“Mbak juga, sih, salah ngomong,” tuding Raafi.
“Loh? Salah di mana?”
“Mbak tadi ngomongnya kaya nantang. Mestinya Mbak bilangnya begini: ‘jika Bapak berkenan, saya akan datang besok’. Selesai, kan?” ujar Raafi.
“Namun tadi Mbak malah ngomong: ‘terserah Bapak, kalau Bapak mau, saya bisa besok’. Waktu Mbak ngomong begitu, aku udah lemes. Dugaanku, ini pasti Profesor bakal ngamuk. Benar saja, deh.”
“Ya mau bagaimana lagi? Aku tadi panik.”
“Ya aku nggak nyalahin juga, sih. Kalo aku di posisi Mbak Nadya, aku juga pasti panik,” lanjut Raafi.
“Cuma, kita, kan, juga tahu, kalau Profesor sangat menekankan sikap. Terus terang, tadi sikap Mbak agak … gimana, gitu. Kayak menantang. Ya mungkin Profesor tersinggung,” ujar Raafi lagi.
Aku menyelesaikan suapan terakhir yang rasanya sulit masuk ke kerongkongan. Es teh manisku pun mendadak terasa pahit. Aku memang punya kebiasaan jelek. Aku kadang terlalu spontan dan reaktif terutama dalam kondisi panik. Dan kadang, kata-kata yang keluar menjadi tidak terkontrol.
Aku sama sekali tidak berniat menantang Profesor. Pun aku juga bukan tidak bisa menjaga sikap. Namun, kejadian tadi benar-benar membuatku panik dan kata-kata itu keluar begitu saja. Aku juga sebenarnya merasa tidak enak kepada Profesor (makanya aku tadi minta maaf). Dan kata-kata Raafi barusan membuatku semakin merasa bersalah.
“Sudahlah, Nad. Nggak apa-apa. Paling besok Profesor juga lupa.” Eva berusaha menghiburku.
Matahari semakin meredup. Suasana di luar mulai gelap. Raafi pun pamit karena harus mengejar travel ke Jakarta.
Eva juga menunggu travel yang akan membawanya ke Ciamis. Namun travel tersebut baru akan tiba malam hari. Masih lama. Jadi, aku mengajak Eva untuk menunggu di balai diklat saja. Aku sendiri akan menginap di balai diklat. Tadi aku sudah menelepon dan untungnya masih ada kamar kosong. Aku juga sudah menelepon Emile dan memberitahukannya kalau aku tidak pulang.
Kami segera beranjak pergi sebelum magrib turun. Kami berjalan menuju pertigaan Jalan Dago, menyeberang, dan naik angkot yang menuju Jalan Merdeka. Kami turun di depan minimarket sebelah BIP karena aku harus membeli beberapa peralatan mandi dan minuman. Setelah itu, baru kami menuju balai diklat.
Setelah menemui penjaga gedung dan mengambil kunci, kami naik ke lantai atas. Lagi-lagi aku mendapatkan kamar paling ujung di lantai tiga. Aku segera merebahkan tubuhku yang penat ke atas kasur. Eva menuju kamar mandi untuk wudu dan menumpang salat.
Selesai salat, Eva segera mengambil remote dan menyalakan televisi.
“Enak, ya, di sini. Berapa per malamnya?”
“Duapuluh lima ribu rupiah per orang per malam,” jawabku.
“Ada air panas dan internet. Makanya aku betah di sini.” Aku bangkit. “Mau minum?” tawarku. Aku mengeluarkan beberapa sachet minuman serbuk yang aku beli tadi. “Ada air panas di luar.”
“Nggak usah,” jawab Eva. Ia mengutak-atik ponselnya.
“Iya … halo!” Eva menelepon seseorang. Rupanya travel yang dipesannya sudah tiba, tetapi tidak tahu letak gedung balai.