Aku menuju tempat rental komputer langgananku di dekat kampus. Nasib baik sepertinya sedang berpihak kepadaku karena rental tersebut sedang sepi pengunjung. Lagi-lagi, aku menjadi satu-satunya pelanggan.
“A’, bisa nge-print?” tanyaku.
“Bisa, Teh.”
“Warna?” Aku memastikan.
Penjaga rental itu mengangguk.
Aku segera menuju ke salah satu komputer dan menancapkan flashdisk.
“Boleh pakai dua komputer?” tanyaku.
“Silahkan.”
Maka, satu komputer aku pakai untuk mencetak bab empat yang sangat banyak, dan satu komputer lagi untuk mencetak bab satu, dua, tiga dan lima. Pelengkap-pelengkap yang belum selesai aku kerjakan saja di laptop dengan menumpang listrik di situ.
Aku mulai mencetak sekitar pukul satu siang. Lewat beberapa menit, tepatnya. Dan seperti yang sudah aku duga, mencetak membutuhkan waktu lama. Apalagi ada banyak gambar berwarna di tesisku. Itu baru mencetak. Belum mengurutkan. Dan masih ada beberapa pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Daftar-daftar yang terkesan sepele ternyata membutuhkan banyak waktu juga untuk menyelesaikannya. Terakhir, aku membuat daftar perbaikan seperti yang diminta Profesor kemarin.
Pencetakan selesai pukul tiga kurang limabelas menit. Selesai dengan rapi dengan urutan yang benar. Dijepit hecter dan dimasukkan ke dalam map plastik agar rapi dan juga aman.
Setelah aku membayar biaya rental dan cetak, aku segera melesat ke Jalan Dago. Aku menyeberang jalan untuk naik angkot yang menuju rumah sakit Santo Borromeus yang berada di sebelah selatan. Kemudian berhenti, dan menyeberang lagi menuju tempat pertemuan dengan Profesor.
Pukul tiga kurang beberapa menit. Aku masuk ke dalam restoran dan mencari Profesor. Rupanya Profesor belum datang. Aku kemudian duduk di salah satu kursi. Agar aku bisa segera mengetahui kedatangan Profesor, aku memilih kursi yang menghadap ke arah pintu. Dan pada saat itulah aku akhirnya mengetahui juga jawaban atas “misteri” yang sering dilontarkan Profesor pada saat kuliah dulu. “Misteri” tentang bus menuju Yogyakarta dari depan rumah sakit Santo Borromeus!
“Agen Bus Pahala Kencana”.
Begitu tulisan yang tertera di meja yang dekat dengan pintu tersebut. Pantas saja Profesor dulu sering mengolok-olok Kiki untuk pulang saja ke Yogyakarta dari depan Borromeus!
Aku segera memotret tulisan tersebut dan mengirimkannya ke Kiki. Kiki langsung tertawa begitu membaca pesanku.
Sudah limabelas menit berlalu dan Profesor masih belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku pun mencoba membunuh waktu dengan membaca buku, sambil sesekali memeriksa drafku.
Profesor baru tiba menjelang pukul empat sore. Aku yang melihat Profesor masuk segera berdiri untuk menyambutnya.
“Maaf menunggu lama, Mbak.” Profesor menyalamiku.
“Nggak apa-apa, Pak.” Aku kembali duduk.
“Bagaimana, Mbak? Sudah selesai?”
“Sudah, Pak.” Aku segera menyerahkan draf tesisku.
“Ini daftar perbaikannya, Pak.” Aku menyerahkan selembar kertas yang berisi daftar perbaikan yang aku lakukan dan di halaman berapa saja.
Profesor agak terkejut karena ternyata banyak sekali perbaikan yang aku buat.
“Marginnya berubah, Mbak?”
“Iya, Pak. Ternyata selama ini saya salah. Makanya semua halaman berubah. Saya juga ternyata salah melakukan penomoran halaman,” jelasku.
Profesor mulai membuka-buka draf milikku. “Ini sekarang jadi lebih enak dibacanya, Mbak.”
Aku tersenyum.
Profesor mulai melihat gambar dan tabel yang kemarin jadi masalah itu. Wajahnya menyiratkan kepuasan.
“Hebat sekali ini, Mbak.” Sekali lagi Profesor memujiku.
Aku pun kembali tersipu.
Profesor menutup draf tersebut. “Kamu mau tahu kenapa saya sangat cerewet soal format ini?” tanya Profesor.
Aku tidak menjawab.
“Mungkin bagi kamu ini terasa sepele. Namun, waktu saya kuliah di Jerman, tata cara penulisan ini menjadi sangat penting. Kenapa? Karena waktu itu semua di-copy ke dalam microfilm. Margin itu harus tepat. Font juga harus tepat. Apalagi gambar dan tabel. Karena kalau tidak, itu semua bisa terpotong dan tidak terbaca.” Profesor menceritakan pengalamannya.
“Jangan suka menyepelekan hal kecil, Nadya.”
“Iya, Pak.” Aku menunduk.