Kelas mendadak hening ketika seorang pria yang tampak sangat senior melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Ia begitu karismatik, dan tampan—aku harus mengakuinya. Namun, sorot mata tajam dan raut wajah kerasnya membuat kami semua terkesiap. Dan ketegangan sontak menyergap ketika pria itu langsung bertanya tanpa basa-basi.
“Kalian itu mahasiswa atau preman?”
Aku melongo. Apa-apaan ini? Belum sempat sumbu otakku tersambung dengan suasana, pria itu kembali bertanya. Kali ini dengan nada suara membentak.
“Mana ketua kelasnya?”
Aku melirik Lisa, sang ketua kelas yang duduk di sebelahku. Wajahnya yang selalu dipoles make up kali ini tampak lebih “terang” dari biasanya.
“Saya ... Pak….” Lisa menjawab tegang.
“Berapa jumlah mahasiswa di kelas ini?” Pria itu lagi-lagi bertanya.
Lisa gugup. “Tiga puluh … tiga … eh, atau lima, ya…?”
“Kamu ini bagaimana, sih? Kamu itu ketua kelas, tetapi kenapa tidak tahu jumlah teman-temanmu sendiri?” Suara pria itu kembali menggelegar.
“Berapa yang tidak hadir hari ini?”
Lisa semakin gelagapan. Ia tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke belakang dan matanya menyapu seisi kelas. Sebagai ketua kelas, ia memang selalu duduk di depan.
“Siapa yang berasal dari instansi pemerintah?” Seolah tidak sabar menunggu jawaban Lisa, pria itu kembali melontarkan pertanyaan ke seisi kelas dengan suaranya yang berwibawa (lebih tepatnya mengerikan—menurutku!).
Beberapa mahasiswa mengangkat tangannya. Termasuk aku.
“Saya akan melihat absensi kalian! Kalian harus ingat ini baik-baik; kalian itu kuliah di sini dibiayai oleh uang negara. Jadi, kalau kalian tidak serius, apalagi kalau sampai membolos, itu artinya kalian telah melakukan tindakan KORUPSI!”
Deg!
Seisi kelas semakin hening. Tidak ada yang berani menatap dosen yang tengah berdiri gagah di depan kelas itu, terutama para mahasiswa PNS penerima beasiswa.
Kemudian, dengan sangat tiba-tiba, ia mengajukan sebuah pertanyaan; pertanyaan yang sudah kuketahui bocorannya, sebenarnya. Hanya saja….
…
“Eh, besok jangan sampai terlambat!” Dita, salah seorang senior tingkat angkatan, hari itu mengingatkan.
Kami, seisi kelas yang sedang sibuk ribut seperti biasa pada jam kosong, sontak menoleh.
“Pokoknya, jangan ada yang terlambat!” Dita kembali mengingatkan.
“Orangnya galak banget, ya?” Lisa bertanya dengan nada penasaran.
Dita memamerkan senyumnya yang seperti dipaksakan. “Pokoknya, jangan macam-macam dengan dosen yang satu itu.” Ia menarik sebuah kursi dan duduk di dekat Lisa.
“Jangan terlambat. Jangan nggak masuk. Kalaupun absen, harus ada keterangan, minimal surat izin. Kalau ditanya, harus menjawab. Oh, iya, jangan menjawab dengan kata ‘mungkin’.” Dita menyerocos panjang lebar.
“Kenapa?” Aku bertanya heran. Memangnya ada apa dengan kata “mungkin”?
Dita mengangkat bahu. Dan kembali melanjutkan.