Kelas Terakhir

Nadya Wijanarko
Chapter #3

BAB 2 - SURAT IZIN

Sepertinya pertemuan pertama kami dengan Profesor menyisakan permasalahan yang berbuntut panjang. Bagaimana tidak? Pada pertemuan pertama itu, ternyata ada belasan orang mahasiswa yang tidak masuk kuliah. Artinya, nyaris separuh mahasiswa tidak hadir, dan tanpa keterangan—tentunya. Karena memang selama ini para mahasiswa tidak pernah memberitahukan alasan ketidakhadiran mereka (termasuk aku, sih). Kalau ingin masuk kelas, ya masuk saja. Namun, kalau sedang tidak ingin masuk kelas, ya tinggal membolos saja, dengan seribu satu macam alasan yang tidak perlu dilaporkan.

Namun, ternyata Profesor sangat mempermasalahkannya. Aku tidak tahu apakah ancamannya untuk mengecek satu per satu daftar hadir mahasiswa (terutama mahasiswa penerima beasiswa) benar terlaksana. Yang jelas, Profesor meminta SEMUA mahasiswa yang tidak hadir dalam pertemuan pertama membuat surat keterangan.

Walhasil, ruang administrasi jurusan riuh-rendah dengan kehebohan para mahasiswa yang tidak hadir. Ada yang sibuk menanyakan format surat. Ada yang kebingungan menuliskan nama lengkap Profesor berikut gelar dan jabatannya. Namun, ada juga yang sudah siap dengan print out surat yang telah ditandatangani.

Aku tentu saja tidak termasuk yang harus membuat surat itu. Hanya saja, aku penasaran. Jadi, hari itu aku mendekati Bu Indri, yang bertugas sebagai sekretaris di ruang administrasi jurusan, dan merayunya untuk memperlihatkan surat-surat yang terkumpul. Aku ingin tahu apa saja alasan teman-temanku.

Dari seluruh surat keterangan yang masuk, menurutku yang paling masuk akal adalah alasan Aisha. Aisha, salah seorang teman sekelasku, adalah guru di sebuah SMP swasta. Ia tidak masuk karena sedang mengawas Ujian Nasional (UN). Surat keterangan tertulis jelas dan masuk akal alasannya. Terlampir pula surat tugas dari sekolah tempatnya mengajar. Jadi, alasan Aisha sangat masuk akal.

Meski demikian, Aisha tidak bisa menyembunyikan ketakutannya ketika mendengar cerita di kelas. Aisha memang seorang gadis yang sangat lembut. Tubuhnya kecil dan wajahnya imut seperti anak-anak. Sangat cocok untuk menjadi guru SMP, memang. Aku sendiri juga sebenarnya tidak bisa membayangkan seandainya gadis lembut seperti Aisha dibentak-bentak oleh Profesor kemarin.

“Aduh … aku, kok, jadi takut, ya, Mbak.” Aisha, yang sedang merapikan berkas-berkas surat keterangannya, mulai berkeluh-kesah.

“Aku, tuh, paling nggak tahan dibentak, Mbak.” Wajahnya mulai menyiratkan rasa khawatir.

“Aku, kan orangnya kagetan.” Aisha kembali mengemukakan kekhawatirannya.

“Lha, ya sama, atuh....” Bu Indri yang menyahut. “Memangnya, teh, dikira kemarin aku nggak kaget?”

Aku menaikkan alisku. “Memangnya kemarin ada apa?” tanyaku.

Bu Indri mulai bercerita. “Kemarin, kan, Profesor sempat keluar kelas. Nah, itu aku langsung disembur. Aku lagi minum tahu-tahu diteriakin, ‘BU INDRI!’, begitu teriaknya. Sampai aku keselek.”

Aku melongo. Begitu juga Aisha.

“Ngapain Profesor sampai teriak begitu?” Aku heran.

“Minta daftar kehadiran,” jawab Bu Indri. “Gara-gara kalian membolos, sih!” Bu Indri menunjukkan raut wajah pura-pura kesal.

Aku tersenyum. Sementara wajah Aisha semakin pucat.

“Tapi sebenernya si Bapak itu baik, kok. Cuma, gayanya memang begitu.” Bu Indri mencoba menghibur demi melihat wajah Aisha yang semakin memucat.

“Kalau mau tahu, nih, mahasiswa-mahasiswa bimbingannya, terutama yang cewek-cewek, itu banyak yang curhat ke saya sambil nangis-nangis,” ujar Bu Indri lagi.

Lihat selengkapnya