Kelas Terakhir

Nadya Wijanarko
Chapter #4

BAB 3 - KELUAR!

Ada satu kejadian yang hampir pasti terjadi setiap tahunnya pada mata kuliah yang diampu Profesor. Sampai-sampai seolah menjadi tradisi. Yaitu, selalu ada mahasiswa yang dikeluarkan dari kelas.

Alasan pengusiran tersebut bermacam-macam. Mulai dari dianggap tidak memperhatikan pelajaran, sibuk mengobrol sendiri, tidak menjawab dengan jawaban yang memuaskan (seperti menjawab pertanyaan dengan kata “mungkin”), hingga tudingan meremehkan pengajar.

Isu pengusiran mahasiswa menjadi topik perbincangan hangat di angkatanku. Setidaknya antara aku dan Lisa. Setelah kuliah pertama yang sungguh “mengesankan”, aku sering membahas masalah ini dengan Lisa: siapa kira-kira mahasiswa yang akan dikeluarkan dan pada pertemuan ke berapa. Kami sering menebak-nebak. Akhirnya, aku malah bertaruh dengan Lisa. Aku menyebut nama yang kira-kira akan dikeluarkan oleh Profesor, pada pertemuan kelas yang ke sekian. Lisa juga menyebut sebuah nama, dan perkiraan waktu mahasiswa tersebut dikeluarkan. Yang kalah di antara kami harus menraktir makan siang. Konyol, ya? Namun rasanya mahasiswa lain juga melakukannya. Saling menebak siapa yang akan dikeluarkan dan pada pertemuan ke berapa. Sambil berharap kalau mahasiswa itu bukan diri sendiri.

Pada pertemuan kedua, aku sengaja memilih tempat duduk yang berbeda. Kalau minggu lalu aku duduk di baris pertama sayap kiri, kali ini aku duduk di baris kedua sayap kanan, tepat di belakang Ben. Ben, seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, adalah salah satu mahasiswa yang berhasil membuat Profesor terkesan. Tentu Profesor akan kembali mengingatnya pada pertemuan kedua, dan seterusnya. Dan tentu saja, Ben akan menjadi sasaran tembak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di dalam kelas. Karena itu, duduk di belakang Ben pasti akan sangat aman dari pandangan mata Profesor. Profesor pasti akan lebih melihat Ben, dan pastinya akan lebih sering mencecar Ben.

Perkuliahan dimulai. Profesor tidak segarang minggu lalu. Bahkan, pada pertemuan kedua ini Profesor sangat menyenangkan. Tidak ada marah-marah seperti minggu lalu dan suasana kelas lebih santai dari sebelumnya.

Profesor mengajukan beberapa pertanyaan. Dan selalu dilempar ke forum kelas. Dan seperti sudah diduga, tidak ada yang berani menjawabnya. Maka, Profesor pun mulai menembak para mahasiswa satu per satu. Bhisma, Nadine, Rezza, dan Ben. Aku cukup bersembunyi saja di balik punggung Ben.

Hari itu kami membahas sedikit tentang metode penelitian. Tentang “from the whole to the part” (melihat fenomena secara keseluruhan untuk kemudian memahami bagian-bagian fenomena yang lebih spesifik), juga “from the part to the whole” (melihat fenomena per bagian untuk melihat satu fenomena utuh yang lebih menyeluruh). Menggunakan analogi beberapa orang buta dalam melihat bentuk gajah secara keseluruhan; ada yang menyebut gajah sebagai binatang panjang karena yang dipegangnya adalah belalai, ada yang berpikir kalau gajah adalah binatang lebar karena yang disentuh adalah telinganya.

Sebenarnya aku pernah mendapatkan materi seperti ini ketika kuliah S1 dulu. Jadi, aku sedikit berbisik mencoba merangkai kata per kata dan kalimat demi kalimat untuk menggambarkan metode tersebut.

“Ya, Mbak?” Tiba-tiba Profesor menegurku.

“Ya, Pak?” Aku terkejut.

“Coba ulangi lagi dengan lebih keras yang kamu katakan barusan!” perintahnya.

Aku pun mengulanginya. Mencoba merangkai kata per kata dan kalimat per kalimat agar lebih terstruktur. Dan jadilah sebuah kalimat utuh.

“Dengan analogi ini, artinya setiap orang berusaha memperoleh gambaran per bagian dari gajah, entah itu telinga, belalai, ekor, dan lainnya, sehingga akhirnya diperoleh gambaran gajah secara utuh.” Aku mencoba menyusun kesimpulan.

Lihat selengkapnya