Dari seluruh teman-teman kuliahku, aku paling dekat dengan Eva. Nama lengkapnya Eva Permatasari. Nama lebih lengkapnya, Raden Eva Permatasari. Berasal dari Ciamis, bekerja di instansi pemerintahan daerah Ciamis, dan penerima beasiswa juga. Raden merupakan gelar kebangsawanan dalam budaya Sunda. Sama seperti budaya Jawa. Bedanya, dalam budaya Sunda, gelar cukup disebut “Raden”, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sedangkan dalam budaya Jawa, gelar “Raden” selalu diikuti dengan, misalnya, Ayu, Ajeng, Nganten, dan lain sebagainya.
Sejujurnya, aku tidak tahu apakah Eva benar-benar keturunan bangsawan. Dan seingatku lagi, rasanya namanya di daftar hanya ditulis “Eva Permatasari”. Aku mulai sering mendengar nama Eva disebutkan “lengkap” baru pada semester ini. Dan yang menyebutkannya, siapa lagi kalau bukan Profesor. Sama seperti Kiki, Eva juga termasuk salah satu mahasiswa yang sering ditembak di dalam kelas—sesuatu yang membuatku lagi-lagi harus mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena kehadirannya semakin “menenggelamkan” aku dari pandangan mata Profesor. Penyebabnya? Ciamis!
Entah mengapa, aku merasa Profesor memiliki keterikatan emosional yang sangat kuat dengan Ciamis. Berdasarkan informasi yang aku korek dari Emile, tahun lalu pun Profesor juga sering bercerita tentang Ciamis. Tentang Ciamis yang penuh potensi namun seakan tidak terurus dengan baik; tentang industri kayu yang melimpah-ruah tetapi tidak sanggup mengangkat Ciamis dari kemiskinan; tentang infrastruktur yang masih jauh dari memadai, dan lainnya.
“Kalau saya berdiskusi dengan para pemangku kebijakan di sana, mendadak mereka sakit gigi semua, tidak bisa menjawab!” ujar Profesor suatu hari.
Meski begitu garang mengkritik Ciamis, aku sebenarnya justru melihat rasa cinta yang luar biasa dari Profesor terhadap Ciamis. Ciamis begini, Ciamis begitu, dan lain-lain. Makanya, begitu ia mengetahui asal Eva, Profesor semakin bersemangat terhadap Ciamis ibarat api yang disiram bensin dan nyalanya semakin membara.
Eva bisa dibilang sebagai salah satu mahasiswa kesayangannya. Setidaknya, Profesor tidak pernah memarahi Eva. Meski di sisi lain ia juga sering mem-bully Eva. Salah satunya adalah gelar “Raden” itu yang entah dari mana asal muasalnya. Pernah suatu kali Eva datang terlambat hampir dua jam—baru datang pukul sebelas siang meski kelas dimulai pukul sembilan pagi. Dan Profesor tidak memarahinya.
“Oh, mari masuk Mbak Eva, silakan, saya paham pasti terjebak macet di Gentong, ya?” Begitu ujarnya suatu hari ketika Eva dengan santainya masuk ke dalam ruang kelas, lalu duduk di kursi paling depan. Waktu itu tanjakan Gentong di Tasikmalaya memang tengah diperbaiki dan berdampak pada kemacetan yang luar biasa. Perjalanan Eva dari Ciamis ke Bandung jelas terkena imbasnya.
“Silahkan minum dulu, Mbak Eva, saya tahu Mbak Eva pasti haus setelah perjalanan jauh dan terjebak macet di Gentong,” lanjut Profesor ketika melihat Eva dengan cuek-nya membuka botol minum dan menenggak isinya.
Eva memang selalu melaju setiap hari dari Ciamis ke Bandung. Kami pernah menyarankan Eva agar menyewa kamar kos saja selama kuliah di Bandung. Bagaimanapun, jarak Ciamis-Bandung lumayan jauh dan memakan waktu juga. Namun, Eva selalu menolaknya karena masih memiliki anak kecil yang tidak bisa ditinggal. Makanya, ia lebih suka setiap hari pergi-pulang dari Ciamis ke Bandung.