Kelas Terakhir

Nadya Wijanarko
Chapter #8

BAB 7 - DUA BUAH BUKU

Kampus Dewa Ganesha adalah kampus dengan konsentrasi di bidang teknologi. Setidaknya, ada kata “teknologi” yang disandang di tengahnya. Dulu, lulusan-lulusannya selalu menyandang gelar “insinyur”. Biasa disingkat “Ir.”, berasal dari kata “engineer”. Disebut “engineer” memang karena kerjaannya “engineering”.

Mendengar kata “engineering”, kepala langsung terbayang dengan pekerjaan pertukangan. Mengecor, menyolder, mengukur, mengaduk semen. Namun, siapa sangka jika “sosial” pun bisa di-“engineering”.

Nah, inilah yang menjadi fokus utama program studi yang aku ikuti saat ini. Karena itu juga, lulusan sosiologi biasanya adalah yang paling “disukai” oleh para dosen di sini. “Disukai” dengan tanda petik (“”). Rasa suka para dosen terhadap sarjana sosiologi pun ditunjukkan dengan bertanya berkali-kali kepada mereka di kelas. Para lulusan sosiologi ini kerap ditembak agar mengemukakan pendapatnya mengenai suatu fenomena sosial. Dan jika mereka tidak bisa menjawab, atau menjawab tetapi tidak memuaskan, bersiap-siaplah untuk di-bully sepanjang perkuliahan.

Beberapa rekanku semasa kuliah S1 ada yang melanjutkan kuliah di sini. Emile sendiri juga lulusan sosiologi (tetapi dari kampus Patih Majapahit). Dan mereka semua kompak mewanti-wanti agar aku tidak membuka identitasku sebagai sarjana sosiologi. Terutama ke dosen waliku yang meski lulusan teknik fisika tetapi belakangan justru sangat tertarik dengan “sosial”. Beberapa temanku memang menjadi “korban” sang dosen, termasuk Emile. Makanya, aku pun memasang “pagar”.

Selama dua semester, aku berusaha menahan mulutku untuk tidak berpendapat dalam diskusi di kelas. Dan upayaku cukup berhasil karena dosen waliku sepertinya tidak tertarik denganku.

Pada semester ketiga ini aku hanya mengambil dua mata kuliah. Yang satu adalah mata kuliah yang diajar Profesor, dan satunya lagi adalah mata kuliah yang diampu dosen waliku. Bahkan, mata kuliah yang diampu dosen waliku hanya tinggal menyisakan beberapa pertemuan, yang bahkan tidak apa-apa jika tidak dihadiri. Jadi, sepertinya aku akan melewati perkuliahanku dengan mulus tanpa perisakan.

Aku tentu saja tidak memiliki prasangka apapun terhadap Profesor. Maka, ketika suatu kali Profesor menanyakan asal-usulku, aku pun menjawab dengan jujur, bahwa aku berasal dari kampus makara dengan program studi sosiologi.

“Lho, Mbak Nadya lulusan sosiologi, tho? Saya kira ekonomi,” ujar Profesor.

“Bukan, Pak. Saya lulusan sosiologi,” jawabku.

Wajar jika Profesor mengira aku berasal dari jurusan ekonomi karena kampusku itu memang identik dengan ekonomi. Bahkan ada yang menuding bahwa kampus asalku itu adalah biangnya ideologi kapitalisme.

Minggu berikutnya, setelah aku membuka identitasku pada Profesor, perkuliahan masih berjalan seperti biasanya. Profesor sama sekali tidak mengusik gelar kesarjanaan sosiologi yang aku miliki. Aku membayangkan seandainya itu adalah dosen waliku, wah, aku pasti sudah “habis”.

Selesai kuliah, aku meminta izin kepada Profesor untuk tidak hadir pada pertemuan berikutnya. Kantorku akan mengadakan kegiatan di Yogyakarta dan mereka meminta bantuanku. Selain itu, Emile sudah mulai melakukan observasi awal untuk penelitiannya di Yogyakarta. Kami pun memanfaatkan waktu untuk sekalian saja pindahan dari Bandung.

Ketika aku meminta izin, sekali lagi Profesor menanyakan asal jurusanku. Dan sekali lagi juga, aku jawab dengan jujur apa adanya, bahwa aku dulu kuliah di jurusan sosiologi.

Profesor mengizinkan aku untuk tidak hadir pada pertemuan selanjutnya. Dan minggu depannya, aku memang tidak masuk kuliah.

Lihat selengkapnya