Kamis. Siang. Pukul 13.00. Lebih sedikit, sih. Aku biasanya malas menghadiri kelas yang diampu dosen waliku ini. Kuliah seharusnya membahas tentang materi praksis pembangunan. Namun pada prakteknya, kuliah justru dimanfaatkan mahasiswa untuk mempresentasikan rencana tesis masing-masing. Sekaligus ajang curhat.
Bagus, sih, sebenarnya. Minimal, mahasiswa dilatih dulu dengan simulasi sidang di depan kelas. Mahasiswa-mahasiswa yang sudah siap dengan rencana penelitian tesis diminta melakukan presentasi yang dilanjutkan dengan diskusi oleh seisi kelas.
Ada tiga hal yang membuatku malas menghadiri kelas ini. Pertama, kehadiran tidak terlalu penting. Jadi, buat apa aku hadir dan mengisi daftar kehadiran kalau ternyata itu tidak ada gunanya?
Kedua, aku belum siap dengan rencana penelitianku. Ada, sih, gambarannya. Akan tetapi aku belum terlalu yakin. Aku pernah suatu kali jalan-jalan dan tersesat di pantai selatan Yogyakarta, lalu menemukan sesuatu yang sangat menarik di sana (menurutku). Bangunan kincir angin dan panel surya, dan penjaga gedung kecil ramah yang mengatakan tentang proyek energi terbarukan. Hanya saja, aku belum ada gambaran untuk melihat dari sisi yang mana. Jadi, aku tidak percaya diri kalau harus mempresentasikannya di depan kelas.
Ketiga, yah, apalagi kalau bukan karena tabiat dosen waliku yang sangat suka mendeterminasi mahasiswa … ehm … bahasa gampangnya mem-bully. Dosen waliku ini sangat suka berdebat. Hobinya memutar-mutar argumen. Setiap komentar yang keluar dari mulut mahasiswa pasti dibantahnya, diputarbalikkan, dijungkirbalikkan, dikocok-kocok sampai mahasiswanya pusing sendiri.
Mata kuliah ini sendiri rasanya baru satu kali aku hadiri. Eh … atau dua kali, ya? Aku lupa. Namun, pastinya sangat jarang. Karena aku juga memang malas. Hanya saja, kejadian kemarin cukup membuatku shock dan untuk pertama kalinya, aku membutuhkan nasehat dari dosen waliku ini.
“Wah, ada mahasiswa baru, nih, sepertinya.” Dosen waliku langsung berkata begitu melihatku masuk kelas dan duduk di bangku paling belakang.
Seisi kelas menoleh. Aku hanya tersenyum.
“Kamu masih hidup rupanya?” sindir dosen waliku, dengan gaya nyinyir yang menyebalkan—seperti biasa!
Aku lagi-lagi hanya tersenyum. Untung dosen waliku langsung mengalihkan perhatiannya kepada Kiki yang saat itu sudah siap dengan presentasi rencana tesisnya. Kiki pun segera melakukan presentasi. Dan dilanjutkan dengan tanya jawab. Aku mengikutinya dengan malas-malasan karena aku memang sedang tidak berminat untuk berdiskusi.
“Ada yang mau disampaikan, Mbak?” Dosen waliku tiba-tiba bertanya kepadaku.
Seisi kelas kembali menoleh. Aku akhirnya mengajukan sebuah pertanyaan sekaligus masukan untuk Kiki. Kiki mengangguk-angguk tanda setuju. Diskusi pun kembali berlanjut. Hingga Kiki berhasil menyelesaikan presentasinya. Setelah ditanya sana-sini, dan setelah di-nyinyirin dosen waliku dengan gayanya yang lumayan nyelekit dan bikin makan hati.
“Mbak mau presentasi juga?” Dosen waliku menawarkan padaku.
Aku tersenyum, lalu menggeleng. “Belum siap, Pak,” jawabku.
“Masak?” Ia tidak percaya. “Kayanya kamu ingin menyampaikan sesuatu,” tembaknya.
Aku kembali tersenyum.
“Yang nggak ada hubungannya dengan penelitian juga nggak apa-apa, kok,” tawarnya.
Aku terdiam sebentar. Namun aku juga tidak tahu lagi harus bercerita kepada siapa. Akhirnya, aku pun menceritakan segala kegundahanku kepada dosen waliku itu.