Kelas Terakhir

Nadya Wijanarko
Chapter #10

BAB 9 - KEPUTUSAN

Minggu ketiga di bulan September, 2014. Pada suatu hari. Selasa malam jelang Rabu dini hari. Aku berdiri di samping rel Stasiun Tugu Yogyakarta. Jam yang bertengger di stasiun menunjukkan hampir pukul setengah dua belas malam. Penunjuk waktu digital yang ada di ponselku menunjukkan angka 23.28. Tadi petugas stasiun sudah mengumumkan melalui pengeras suara, bahwa para penumpang Kereta Api Ekspres Malabar harus segera bersiap di sisi jalur 5. Menurut jadwal, kereta akan tiba (dari Malang), dan kemudian berangkat lagi (dari Yogyakarta menuju Bandung) pada pukul 23.32. Setidaknya, itulah yang tertera di tiket kereta api yang aku pegang. Semoga tidak terlambat (dan sepertinya memang tidak terlambat).

Setelah mata kuliah yang diampu Profesor selesai, aku memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta sambil menemani Emile menyelesaikan tesisnya. Tentu saja sambil mencari bahan untuk tesisku sendiri. Rasanya aku akan mengambil saja penelitian tentang energi terbarukan yang kompleks pembangkitnya yang dulu tidak sengaja kutemukan di Bantul.

Besok adalah hari penyerahan tugas akhir mata kuliah yang diajar Profesor. Profesor memberikan waktu selama dua minggu untuk menjawab sekitar 20 pertanyaan. Take home test. Namun jangan bayangkan seperti pekerjaan rumah siswa sekolah dasar yang tinggal dijawab satu baris untuk setiap pertanyaan. Tidak. Sama sekali tidak. Soal-soal ujian akhir ini membutuhkan minimal satu halaman untuk menjawab setiap pertanyaannya. Itu minimal. Karena satu pertanyaan soal membutuhkan satu jawaban yang sudah mirip satu makalah sendiri. Lengkap dengan referensinya.

Dua minggu ini aku merasa sangat lelah. Mata ini rasanya begitu penat dan andai saja aku tidak harus ke Bandung, aku ingin menghabiskan waktuku untuk tidur seharian. Aku kadang merasa Profesor agak ribet. Tugas seperti ini, harusnya bisa dikirim lewat e-mail saja. Kalaupun harus dicetak, bisa minta tolong kepada Bu Indri yang berjaga di jurusan, nanti ongkos cetaknya tinggal diganti saja. Dosen waliku sendiri sering menggunakan e-mail untuk tugas-tugas akhirnya.

Sayangnya, gaya Profesor berbeda dengan dosen waliku. Ia masih memegang prinsip yang (menurutku) sangat konvensional. Mengambil soal ujian, harus dengan tanda tangan (yang artinya mahasiswa harus datang ke kampus sendiri, tidak boleh meng-copy soal milik mahasiswa yang lain yang sudah diambil terlebih dahulu). Menyerahkan ujian, harus dalam bentuk jadi, dan harus dengan tanda tangan juga (yang artinya, boro-boro dikirim lewat e-mail, dititip ke teman saja tidak bisa). Menurutku, sih, tidak praktis. Namun, jika itu keinginan Profesor, tentu aku (kami) tidak ada yang bisa melawannya, bukan?

Aku sebenarnya bisa saja tinggal di Bandung. Toh, aku memang menyewa kamar di salah satu rumah kos di Tubagus Ismail (yang belakangan jarang kutempati). Hanya saja, Emile membutuhkan bantuanku. Kuliahnya sudah molor satu semester dari waktu tugas belajar yang diberikan lembaga donor beasiswa. Artinya, Emile sudah membayar sendiri untuk semester terakhirnya. Penyebabnya adalah rencana tesis yang terpaksa dirombak total karena data yang diperlukan sangat sulit dicari. Tadinya, Emile ingin menulis tesis tentang alih fungsi lahan. Namun, ternyata sangat sulit mencari petani yang sudah menjual lahannya. Akhirnya karena data tidak terkumpul, ia pun banting setir. Rencana sementaranya adalah meneliti tentang ketahanan bermukim para penduduk desa di wilayah rawan bencana gunung Merapi. Hanya saja ia belum menemukan grand design-nya. Jadi, ia harus melakukan observasi awal dulu sebelum maju menghadap dosen pembimbing.

Samar-samar di kejauhan terlihat sebuah cahaya menyala terang. Suara yang keluar dari pengeras suara memperingatkan calon penumpang agar berdiri di belakang garis. Kereta sebentar lagi tiba.

Tas ranselku terasa enteng karena bawaanku yang memang tidak banyak (karena aku memang berencana untuk langsung pulang begitu urusanku selesai).

Harusnya, besok, setelah tugas akhir diserahkan, adalah hari terakhir aku berurusan dengan Profesor. Harusnya, setelah ini, aku tidak perlu lagi terlibat dengannya. Cukup satu semester saja.

Namun, kata-kata Profesor beberapa waktu sebelum kuliah berakhir masih terngiang di telingaku. Ia memintaku (tepatnya merekrutku) untuk menjadi mahasiswa bimbingannya. Aku takut (jujur saja, aku memang takut, kok). Namun, aku juga tidak enak menolaknya (lebih tepatnya, takut untuk menolaknya). Aku mencoba meminta opini dari dosen waliku. Akan tetapi ia malah mendorongku untuk menjadi murid bimbingan Profesor. Katanya, itu bagus untuk pengembangan diriku. Benarkah?

Aku mengambil Nokia Lumia 620 dan menyalakan piranti pemutar lagu. Keane mencoba bersenandung untuk menghiburku. “Won’t Be Broken” segera memenuhi ruang-ruang kosong di kepalaku. Aku memejamkan mataku. Antara mengantuk dan mencoba berpikir. Apa yang kutakutkan, pikirku. Toh, bukan hanya aku yang “diminta” Profesor. Seingatku, Lisa, Eva, Nadine, Aisha, Adit, dan Iqbal juga ditarik Profesor untuk menjadi mahasiswa-mahasiswa bimbingannya. Setidaknya, itulah nama-nama yang tertera di SMS Lisa ketika aku diberitahu agar menghadap Profesor setelah menyerahkan tugas akhir nanti.

Aku masih ragu. Aku berpikir, mungkin (mungkin!) sebaiknya besok aku tidak usah hadir saja. Siapa tahu Profesor akan lupa denganku.

Ah … tidak … tidak! Itu cara pengecut, Nad! Jangan jadi pengecut! Sebuah suara yang tidak terdengar mencoba mengingatkanku.

Takutlah, tetapi jangan jadi pengecut! Hadapi dengan kepala tegak!

Aku membuka mataku dan melihat ke luar jendela. Pemandangan di luar tampak gelap. Penumpang-penumpang yang lain sudah pulas berbalutkan selimut. Jam sudah menunjukkan waktu lebih dari tengah malam. Sudah berganti hari.

Aku kembali memejamkan mata dan mencoba tidur. Sambil berpikir, bahwa mungkin aku hanya sedang bertarung menghadapi ketakutan-ketakutanku sendiri. Bukan Profesor, tetapi diriku sendirilah yang sedang aku hadapi saat ini.

...

Pukul setengah sembilan pagi. Kurang sedikit. Kereta api mulai merapat di Stasiun Bandung. Para penumpang yang tersisa bangkit dan mengambil barang-barang bawaannya. Beberapa di antaranya mulai berdiri dan berbaris memenuhi lorong kereta api. Aku masih duduk. Santai saja. Toh, kereta tidak akan ke mana-mana lagi setelah ini.

Barisan manusia mulai melangkah keluar seiring dengan berhentinya kereta api. Berpapasan dengan para portir yang menawarkan jasanya. Kadang berdesakan hingga beradu kuat antara yang ingin naik dan turun. Aku masih menunggu di tempatku.

Aku mulai berdiri dan melangkahkan kaki setelah orang terakhir yang berbaris berjalan melewati tempat dudukku. Aku turun dan berjalan menuju pintu selatan. Pintu utama stasiun sebenarnya ada di sebelah utara. Namun, aku lebih suka keluar lewat pintu selatan karena di sana banyak angkot ngetem dengan jurusan yang langsung menuju Dago.

Aku turun di perempatan Jalan Dago, lalu menyeberang ke Jalan Dipati Ukur untuk mencetak pekerjaanku terlebih dulu di salah satu rental komputer di sana.

Aku segera menuju kampus begitu pekerjaanku selesai dicetak. Di ruang jurusan, tampak Bu Indri sibuk menerima bergepok-gepok makalah sambil menyuruh para mahasiswa menandatangani daftar hadir satu per satu. Aku menunggu hingga teman-temanku yang lain selesai, baru kemudian aku menghampiri Bu Indri.

“Mana?” tagihnya.

Aku segera menyerahkannya.

Bu Indri menaruh pekerjaanku di tumpukan makalah yang ada di belakangnya. Dan mataku pun sontak terpaku pada sebuah jilidan hardcopy yang tebalnya mirip tesis.

“Itu punya siapa, Bu?” tanyaku penasaran.

Bu Indri menoleh. “Oh, itu punya Rezza,” jawabnya.

Lihat selengkapnya