Januari 2015. Aku kembali duduk menunggu di ruangan Profesor. Bersama dengan Adit dan Nadine. Dari seluruh mahasiswa bimbingan Profesor, yang paling rajin adalah Lisa dan Eva. Setidaknya itulah yang sering aku baca dari pembicaraan di grup percakapan; mereka berdua yang paling sering mengajak yang lain untuk datang menghadap dan melakukan bimbingan. Lisa bahkan kabarnya sudah mengalami banyak kemajuan. Konon sudah sampai bab empat. Aku? Kalau saja bukan karena surat pemanggilan yang ditandatangani kepala jurusan, aku mungkin tidak berada di sini.
Setelah menyelesaikan semester tiga, kuliahku nyaris berantakan. Semua berawal dari perombakan nomenklatur di tempat kerjaku akibat perubahan kebijakan pemerintahan yang baru terbentuk.
Nomenklatur yang baru membuatku “terlempar” dari kantor karena unitku pindah kementerian dan mau tidak mau aku harus ikut dimutasi ke instansi lain. Yang benar saja! Rencanaku bisa berantakan kalau begini caranya! Lagipula, aku tahu persis jika keputusan itu adalah hasil lobi para petinggi yang mengincar kepentingan tertentu (baca: jabatan dan proyek).
Pindah instansi, artinya naik jabatan dengan adanya nomenklatur baru yang posisinya masih kosong. Dan beberapa pegawai memang sudah di-plot untuk promosi. Enak betul, ya? Sementara, dengan posisiku yang masih tugas belajar, pertama artinya aku akan tersalip dengan pegawai yang masa kerjanya di bawahku. Dan kedua, rencanaku untuk mengajukan permohonan pindah ke Yogyakarta mengikuti Emile bisa terhambat.
Dan memang, keinginanku untuk pindah akhirnya benar-benar terhambat dengan alasan kantor membutuhkan tenaga. Beberapa kali aku bertengkar dengan atasanku melalui telepon, entah melalui pesan singkat maupun bicara langsung.
Aku jadi stres dan akhirnya berpengaruh pada penyelesaian tesisku. Makanya hingga berbulan-bulan tesisku masih belum ada perkembangan. Aku malah berencana untuk mengulur sekalian saja masa tugas belajarku sambil mencari peluang di tempat lain. Yang jelas, aku malas terlibat dengan segala keriuhan yang terjadi di kantor.
Emile sendiri tidak termasuk yang ikut dipindah. Alih-alih, ia malah memanfaatkan situasi untuk sekalian saja mengajukan pindah ke Yogyakarta. Masalahnya, begitu surat mutasinya keluar, ia malah disibukkan dengan berbagai pekerjaan karena kantornya kekurangan orang. Tesisnya pun terbengkalai.
Namun, bagiku ini malah menjadi keuntungan tersendiri. Aku jadi punya alasan untuk menunda kelulusanku: karena sibuk membantu tesis Emile.
Jatah kuliahku sendiri sebenarnya masih hingga pertengahan tahun 2015 nanti—ketika semester empat berakhir. Itu pun masih ada kompensasi untuk menambah setahun lagi. Meski tentu saja dengan biaya sendiri. Namun, bagiku juga tidak masalah karena aku juga mendapatkan uang beasiswa lagi, khusus untuk penelitian tesis. Rencanaku, aku akan menggunakannya untuk membayar uang kuliahku pada semester berikutnya. Paling aku hanya menombok sedikit dan itu tidak masalah.
Jadi, buatku tidak ada masalah dengan menunda kelulusan. Sayangnya, tidak demikian halnya dengan Profesor. Ia sepertinya mulai kesal dengan kami yang tidak juga memunculkan batang hidung di ruangannya. Maka, sebuah surat pemanggilan pun melayang kepada seluruh mahasiswa bimbingan Profesor.
Selesai? Belum!