Satu semester hampir berlalu sejak terakhir kali aku menemui Profesor. Dengan janji untuk segera menyerahkan draf bab dua yang tidak pernah aku penuhi. Karena aku memang tidak berniat untuk segera menyelesaikannya. Buat apa buru-buru menyelesaikan kuliah hanya untuk terlibat kericuhan di kantor? Ditambah lagi, aku juga dipersulit untuk mengajukan pindah ke Yogyakarta. Lebih baik aku menghindar saja.
“Untunglah” ada Emile. Aku memang banyak mengalihkan perhatian ke tesis Emile. Daripada tidak mengerjakan apa-apa, lebih baik aku membantu Emile menyelesaikan tesisnya saja. Ini juga alibi untuk mengulur masa perkuliahan.
Dan alibiku semakin “sempurna” ketika sebuah surat peringatan dari kampus melayang untuk Emile, yang intinya, jika Emile tidak bisa menyelesaikan kuliahnya semester ini, maka ia harus keluar alias drop out!
Emile panik. Tidak ada pilihan lain, kami memutuskan untuk berkonsentrasi penuh pada tesis Emile. Kantor Emile memang memberikan kompensasi. Emile diizinkan untuk tidak aktif dulu di kantor hingga tesisnya selesai.
Aku mencoba membantu Emile, mulai dari menemaninya menemui narasumber, membuat transkrip wawancara, hingga menjadi sparing untuk diskusi. Kadang aku jadi seperti pembimbing “bayangan” Emile. Aku pun dengan senang hati menemani Emile jika harus ke Bandung. Tentunya dengan mengendarai mobil kesayangan kami. Lebih hemat dan fleksibel, dan artinya lagi, aku harus siap bergantian menyupir sepanjang perjalanan dari Yogyakarta ke Bandung. Pastinya, lebih banyak waktuku yang tersita untuk Emile. Dengan begini, praktis aku tidak sempat lagi menyentuh tesisku sendiri. Harapanku untuk semakin mengulur waktu perkuliahan pun terkabul.
Tentu saja aku selalu memantau perkembangan teman-temanku melalui grup percakapan. Yang paling serius adalah Lisa. Bahkan, Lisa sudah siap untuk maju ujian pratesis sebelum semester ini berakhir. Eva juga sudah banyak mengalami kemajuan. Begitu juga dengan Nadine dan Aisha. Aisha bahkan mengalami kemajuan dalam kehidupan pribadinya: sudah menikah!
Menurut Lisa, Profesor beberapa kali menanyakan mahasiswa yang tidak pernah hadir dalam bimbingan. Tentu saja termasuk aku. Untungnya, Lisa begitu pengertian dengan mengatakan kepada Profesor kalau aku sedang sibuk membantu suamiku—meski tidak persis begitu juga sebenarnya. Aku sebenarnya malu karena itu adalah urusan pribadi. Namun, menurut Lisa, itu lebih baik daripada Profesor berprasangka macam-macam. Meski tentu saja aku harus menahan malu karena Profesor ternyata sering curhat kepada Bu Indri tentang kelakuan-kelakuan ajaib mahasiswa bimbingannya—dan terutama sekali kelakuanku!
“Mosok, Bu Indri, ada mahasiswa saya yang sibuk mengurusi suaminya sampai tesisnya terbengkalai.” Begitu cerita Bu Indri suatu hari ketika aku meneleponnya.
…
Hari ini, aku berada di kampus untuk menemani Emile mengurusi keperluan-keperluannya menjelang sidang. Akhirnya ia mendapatkan jadwal pratesis juga. Dan sementara Emile berdiskusi dengan dosen pembimbingnya, yang juga dosen waliku, aku pun menemui Bu Indri di ruang sekretariat jurusan. Ternyata di sana ada Lisa juga.
Tadinya aku ingin menyapanya dan mengajaknya bercanda seperti biasa. Namun, aku melihat mata Lisa sembab seperti habis menangis. Jadi, aku pun mengurungkan niatku. Aku akhirnya memutuskan keluar ruangan dan memilih menunggu di ruang komputer karena tidak enak dengan Lisa. Emile ada di lobi, sedang berdiskusi dengan dosen waliku yang menjadi pembimbing tesisnya.
Pintu ruangan komputer selalu terbuka. Posisinya yang persis di sebelah lobi membuatku bisa leluasa menguping pembicaraan-pembicaraan yang terjadi di sana. Emile sedang asyik berdiskusi ketika terdengar suara Lisa ikut bergabung. Perhatian kemudian beralih ke Lisa karena ia langsung curhat. Sepertinya, Lisa mengalami masalah dalam penyusunan tesisnya.
Penasaran, aku akhirnya bergabung dan mendengarkan cerita Lisa. Dari penuturan Lisa, ada beberapa hal yang (untuk sementara) bisa kusimpulkan. Pertama, telah terjadi kesalahpahaman antara Lisa dengan Profesor. Kesalahpahaman itu kemudian membuat Profesor marah besar kepada Lisa. Dan kedua, akibat kemarahan Profesor tersebut, Lisa mengkhawatirkan rencana sidangnya. Karena, ketiga, ternyata Lisa mengambil nol SKS yang membuatnya harus segera sidang bulan ini. Dan sepertinya, yang terakhir itulah yang membuat Profesor marah besar.
Aku tidak ingin mengambil kesimpulan apapun dari cerita Lisa. Aku baru mendengarkan versi Lisa dan siapa tahu ada versi lainnya, bukan? Hanya saja, aku terkejut melihat Lisa yang sampai menangis gara-gara Profesor. Bu Indri memang pernah bercerita kalau mahasiswa bimbingan Profesor banyak yang curhat sambil menangis. Namun, aku belum pernah melihat Profesor begitu marah kepada MAHASISWI. Dulu, di kelas, Profesor seingatku hanya pernah membentak mahasiswa, BUKAN mahasiswi.
Daripada terpengaruh cerita Lisa, aku memutuskan untuk keluar, lalu mengirim pesan kepada Eva untuk menceritakan kejadian yang menimpa Lisa barusan. Aku pikir aku harus memberi tahu Eva soal ini.
Jawaban yang aku terima ternyata lebih mengejutkan lagi:
“Aku juga dulu malah pernah digebrak Profesor, draf tesisku dilempar, sampai aku trauma. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Aku kuat-kuatin aja, daripada ga lulus-lulus.”
Aku terkejut. Kapan itu? Aku penasaran. Karena Eva sama sekali tidak pernah menceritakannya.
“Sudah cukup lama, kok. Yang aku datang sendiri sore-sore itu. Ya mungkin waktu itu Bapaknya lagi capek. Kan beliau sibuk berat.”
Aku terdiam membaca pesan Eva. Kalau Eva saja dimarahi (dan kemudian Lisa), bagaimana denganku? Aku sudah satu semester menghilang tanpa jejak. Bahkan Profesor sering mengeluhkan kelakuanku ke Bu Indri. Aku tidak berani membayangkan seandainya Profesor memarahiku. Meski aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, kalau Profesor rasanya tidak akan marah kepadaku. Selama perkuliahan, ia tidak pernah memarahiku. Ketika aku mengikuti bimbingan tesis satu semester yang lalu dengan kemajuan seadanya, ia juga tidak marah. Aku berbeda dengan Lisa dan Eva, pikirku mencoba menghibur diri sendiri. Aku pasti bisa mengatasinya, pikirku—tidak yakin.
...
Sebenarnya aku beberapa kali berada di kampus. Bolak-balik dari Yogyakarta ke Bandung, tepatnya. Namun, tidak sekalipun aku mengurusi kuliahku. Tidak juga tesis yang sama sekali belum kusentuh. Karena aku memang belum berniat untuk lulus. Selagi masih ada jatah waktu, buat apa buru-buru kembali ke kantor yang penuh kericuhan?
Aku sendiri juga sudah tidak menyewa kamar lagi di Bandung. Lokasi penelitianku di Yogyakarta dan aku sudah tidak ada kelas lagi. Kamar kosku juga semakin jarang kutempati. Makanya, ketika aku selesai dengan kelas Profesor, aku memutuskan untuk pergi dari sana. Lebih baik aku bolak-balik saja dari Yogyakarta ke Bandung. Toh, bimbingan juga tidak setiap hari, kan? Sayang juga uang sewanya. Apalagi dengan kondisi sekarang ketika kantorku semakin kacau. Kalau mau tahu, beberapa bulan belakangan ini aku tidak menerima gaji. Konon, itu karena proses perpindahan organisasi yang berpengaruh pada segala macam urusan administratif, termasuk gaji. Aku jelas tidak bisa “bermain-main” dengan keuangan seperti dulu.
Hari ini aku kembali ke kampus. Dan lagi-lagi untuk mendampingi Emile. Emile sudah melewati pratesis dan kini sedang menyiapkan sidang tesisnya. Aku belum berniat menemui Profesor karena aku memang belum melakukan apapun untuk tesisku.
Untuk semester ini, aku sudah harus membayar sendiri karena beasiswaku sudah habis. Bukan uang sendiri juga, sih. Tepatnya, uang bantuan tesis.