Waktu terus berlalu. Dua bulan sudah sejak kelulusan Emile. Sekarang sudah bulan November dan bulan depan sudah masuk musim ujian untuk semester ini. Tesisku? Masih belum bergerak.
Aku memang kurang konsentrasi. Pikiranku terpecah antara bayang-bayang “denda” dua belas juta dan “gangguan” dari kantor. Unitku akhirnya pindah juga dan aku termasuk yang dimutasi. Atasanku bolak-balik menanyakan kapan aku lulus dan sama sekali tidak mau tahu dengan rencanaku yang ingin mengajukan pindah ke Yogyakarta. Aku beberapa kali terlibat perdebatan yang akhirnya merusak mood-ku dalam mengerjakan tesis.
Emile sempat menyarankan agar aku keluar saja dari grup percakapan dan mengganti nomor telepon agar tidak terganggu. Namun, aku masih bertahan karena aku perlu tahu perkembangan yang terjadi di kantor.
Emile sebenarnya mulai mengkhawatirkan kuliahku yang tak kunjung selesai. Beberapa kali ia menanyakan kapan aku mau ke Bandung menemui Profesor, dan menentukan tanggal sidang tentu saja.
Meski kadang ia juga berbaik hati memberikan tawaran bantuan. Misalnya saja, dengan menawari untuk menemaniku ke Bantul—ke Srandakan—yang sudah jelas sangat jauh dari tempat tinggal kami di Ngemplak, Sleman.
Minggu ini, ia sampai meminta izin dari kantor karena ingin menemaniku. Sayangnya, malah aku yang teledor karena ternyata untuk melakukan penelitian harus ada izin tertulis dulu. Birokrasinya ternyata lumayan panjang karena itu harus berurut dari kampusku, yang ditujukan ke pemerintah Jawa Barat, untuk kemudian diteruskan ke Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan kemudian baru ke Pemerintah Kabupaten Bantul. Dan aku belum menyiapkan semua itu.
Emile jelas kesal. Karena menurutnya, aku bisa belajar dari pengalamannya ketika ia melakukan penelitiannya.
Aku diamkan saja. Bukankah ia sendiri juga teledor dengan kuliahnya? Apapun, aku harus mengefektifkan waktu yang tersisa. Pastinya, aku harus ke Bandung untuk kembali mengurus surat-menyurat. Namun, karena aku pasti akan menghabiskan banyak waktu, energi, dan—ini yang paling penting—uang, sepertinya aku harus sekaligus menemui Profesor untuk konsultasi. Harus sekali jalan dan semua urusan terselesaikan.
Aku membuka grup percakapan dengan teman-teman kuliah yang sama-sama menjadi mahasiswa bimbingan Profesor. Mungkin ada yang berencana untuk konsultasi dalam waktu dekat dan aku bisa ikut. Namun grup percakapan sedang sepi. Tidak ada yang punya rencana menghadap Profesor. Tidak juga Eva yang padahal kalau mau mengajukan tanggal sidang pratesis pun bisa.
Ya, sudahlah. Lebih baik aku berkonsentrasi saja dengan tesisku. Aku mencoba menyusun bab dua dengan referensi yang kumiliki sambil menyempurnakan bab pertama juga. Bab tiga pun aku kerjakan sebisanya. Menurutku, sih, tidak terlalu sulit. Berisi tentang metodologi yang menurutku basa-basi saja karena bagiku yang terpenting adalah praktik di lapangan nanti.
Untuk urusan surat menyurat, aku menelepon jurusan dan minta dibuatkan surat pengantar yang ditujukan kepada kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Barat—permohonan untuk melakukan penelitian memang ditujukan ke sini. Pak Wagiman yang biasa mengurusi surat-menyurat langsung menyanggupinya. Aku mengucapkan terima kasih serta permohonan maaf juga karena telah merepotkan.
…
Jumat ini, aku memutuskan untuk mengirim SMS kepada Profesor. Pertimbanganku, jika Profesor segera membalas pesanku, waktu untuk bimbingan yang paling mungkin adalah minggu depan. Paling apes adalah hari Senin. Namun jika melihat jadwal Profesor selama ini, rasanya tidak mungkin ia memberikan waktu hari Senin. Kemungkinan besar Selasa, atau setelahnya. Jadi, aku memiliki jeda waktu cukup lama, baik untuk mempersiapkan tiket maupun merapikan draf tesisku.
Biasanya, aku dan rekan-rekan lain saling bertukar informasi kalau ada yang akan melakukan bimbingan dan menawarkan kalau-kalau ada mahasiswa lain yang ingin ikut. Namun, kali ini aku simpan sendiri saja rencanaku. Bahkan, aku juga tidak memberitahu Eva.
Satu hari berlalu, dan belum ada SMS balasan. Sepanjang hari Sabtu tidak ada SMS yang masuk.
Ketika Minggu tiba, aku sudah tidak berharap banyak. Bagaimanapun, Profesor pasti membutuhkan waktu pribadi untuk bersama keluarga dan tidak ingin diganggu. Aku juga tidak suka dengan “gangguan” terkait urusan pekerjaan (baca: kantor) di hari libur. Namun, malam ini ponselku malah berdering. SMS balasan dari Profesor. Aku membukanya sambil berdoa dalam hati, semoga bukan hari Senin besok. Dan….
“Mbak Nadya, silahkan datang menghadap hari Selasa besok pukul 13.00. Wass.”
Yeah! Aku melompat kegirangan. Ini benar-benar sempurna!
Tiket untuk Senin malam biasanya sangat banyak. Jauh berbeda dengan tiket pada Minggu malam yang sulit dicari karena bertepatan dengan berakhirnya akhir pekan. Itu sebabnya aku sangat berharap Profesor memberikan waktu pada hari Selasa.
…
Senin pagi, aku berburu tiket ke stasiun Tugu. Tiket tersedia masih sangat banyak. Aku membeli tiket kereta api Malabar jurusan Malang-Bandung. Tiba di stasiun Tugu Yogyakarta pukul 23.32, dan tiba di Bandung pukul 08.23. Waktu yang paling tepat. Tidak terlalu pagi dan tidak terlalu siang. Sebenarnya masih ada kereta setelah Malabar, yaitu Mutiara Selatan yang berangkat dari Yogyakarta pukul 00.30 dan tiba di Bandung pukul 09.50. Namun, aku lebih suka Malabar. Kasihan Emile kalau harus mengantarkan aku pukul dua belas malam. Ada juga, sih, kereta api sebelum Malabar, yaitu Lodaya Malam yang berangkat pukul delapan malam. Namun, Lodaya tiba di Bandung sekitar pukul empat pagi. Masalahnya, aku sudah tidak punya tempat menginap lagi di Bandung. Masakkan aku harus tidur di stasiun sampai hari terang?
Aku memutuskan untuk tidak menyewa kamar kos lagi. Rapelan gajiku masih belum turun. Kalaupun turun, aku lebih memilih untuk menggunakannya untuk berjaga-jaga seandainya tesisku tidak selesai semester ini dan harus membayar sebesar 12.375.000 rupiah untuk semester berikutnya.
Sesampainya di rumah, aku segera mengemasi barang-barangku. Draf tesis dan laptop adalah barang yang tidak boleh tertinggal sama sekali. Selanjutnya, aku menyisipkan pakaian dalam dan kemeja. Jika kereta api tiba pukul 08.23, aku mungkin bisa menumpang mandi di masjid kampus dan berganti pakaian dengan kemeja agar lebih sopan. Baru kemudian menuju kampus untuk bertemu Profesor pukul satu siang. Rencana yang sempurna!
Siang hari, aku masih bersantai di rumah sambil merapikan drafku. Sore hari, tiba-tiba ponselku kembali berdering. SMS dari Profesor, lagi.
“Assalamualaikum, Mbak Nadya, pertemuan saya ajukan menjadi pukul sembilan karena saya harus ke dokter. Wass.”
Aku melongo demi membaca SMS dari Profesor barusan. Otak matematikaku berusaha mengutak-atik hitungan antara waktu tempuh Yogyakarta-Bandung, waktu kedatangan, dan waktu pertemuan yang dimajukan. Masih ada jeda waktu 37 menit. Masih bisa diburu, asalkan keretanya tidak terlambat. Aku sempat berpikir untuk membatalkan tiketku dan menggantinya dengan Lodaya Malam yang tiba pukul empat pagi. Namun, aku tidak tega pada Emile. Ah, ya sudahlah. Kan, masih belum terlambat.
Pukul setengah sebelas malam, Emile mengantarku ke stasiun. Jalanan malam yang sepi membuatku tiba di stasiun pukul sebelas lebih sedikit. Masih ada waktu setengah jam lebih sebelum kereta berangkat. Emile langsung pergi begitu aku turun dari sepeda motor. Aku pun segera masuk stasiun, mencetak tiket, masuk peron dengan menunjukkan tiket dan KTP-ku, kemudian dengan spontan melihat jadwal kedatangan kereta yang terpampang di layar digital di depanku:
Malabar, 00.05, terlambat.