Pukul sembilan pagi lewat beberapa menit. Kereta api Malabar baru tiba di stasiun Bandung. Aku segera bergegas melompat keluar dari kereta dan berlari menuju pintu selatan stasiun Bandung. Beberapa orang langsung menghadang di depan pintu untuk menawarkan jasa taksinya. Aku terus berjalan melewati orang-orang itu sambil mataku menyapu sekeliling, kalau-kalau ada kendaraan super cepat yang bisa segera membawaku ke kampus.
“Ojek, Teh?” Seorang pria menawarkan jasanya.
Nah, ini dia, pikirku.
“Ke Ganesha sabaraha, A?” tanyaku.
“Dua puluh lima ribu, Teh,” jawabnya.
Tanpa menawar, aku langsung mengiyakan tarif yang ditembak si abang ojek. Aku segera mengenakan helm dan naik membonceng di belakang. Entah apakah 25.000 rupiah dari stasiun Bandung ke depan kampus Dewa Ganesha terlalu mahal. Yang jelas, andai saja si tukang ojek mau mengendarai sepeda motornya TANPA REM, aku bersedia membayarnya dua kali lipat!
Tadi aku sudah mengirim SMS kepada Profesor. Intinya, aku menginformasikan bahwa kereta yang aku tumpangi mengalami keterlambatan, dan karenanya, ada kemungkinan terlambat juga tiba di Bandung (dan kenyataannya memang terlambat). Aku meminta maaf sebesar-besarnya dan tetap mengusahakan untuk datang tepat waktu (meski sudah pasti itu mustahil).
Profesor tidak membalas pesanku. Kekhawatiranku pun meningkat dua kali lipat. Jangan-jangan Profesor marah; jangan-jangan pertemuannya ditunda lagi; jangan-jangan drafku nanti dilempar seperti draf milik Eva; jangan-jangan….
“A, belok situ aja.” Aku mengingatkan si tukang ojek.
Sepeda motor membelok di pertigaan seberang rumah sakit Santo Borromeus. Tepat di depan kampus, aku meminta turun. Tarif aku bayar pas. Duapuluh lima ribu rupiah.
“Nuhun, ya, A,” kataku.
“Sawangsulna, Teh.” Si tukang ojek memasukkan uang yang kuberikan ke dalam saku jaketnya.
Aku segera melesat menuju ruang Profesor. Padahal, seandainya pertemuan tetap pukul satu siang seperti pemberitahuan awal, aku masih bisa bersantai dengan menumpang mandi di masjid seberang kampus. Namun karena aku sudah terlambat, boro-boro mandi, berganti pakaian saja belum.
Aku masih mengenakan pakaian yang aku pakai ketika berangkat semalam: kaos oblong lengan panjang abu-abu terang, rok jin warna hitam, jilbab berwarna biru, serta jaket gunung bertudung dengan warna biru yang sejak semalam melindungiku dari AC kereta api. Ditambah dengan tas ransel Deuter yang biasa kupakai untuk hiking, aku benar-benar mirip pendaki nyasar di kampus.
Setengah berlari aku menuju gedung tempat ruangan Profesor berada. Labtek V, lantai empat. Aku segera menaiki tangga yang ada—lupa kalau gedung tersebut memiliki lift! Aku segera masuk ke ruangan Profesor yang pintunya sudah terbuka. Namun, ternyata Profesor belum datang. Aku bernapas lega sambil mengempaskan tubuh di kursi.
Aku melirik keluar. Tidak ada siapa-siapa. Sepertinya Profesor belum akan datang dalam waktu dekat. Maka, secepat kilat aku mengambil kemeja, deodorant, sabun pencuci muka, sikat dan pasta gigi, serta bedak compact dari dalam tas, lalu melesat ke kamar mandi.
Aku segera mengganti kaosku yang bau keringat dan air liur dengan kemeja putih bersih yang masih bau wangi sabun binatu. Tak lupa aku juga menyemprotkan deodorant ke seluruh tubuh, serta mencuci muka dan menggosok gigi. Terakhir, aku memoleskan bedak ke wajah. Sekarang, aku tampak lebih segar dan cerah dari sebelumnya. Profesor pasti tidak akan menyangka kalau aku belum mandi pagi ini!
Aku kembali ke ruangan Profesor. Ternyata Profesor masih belum datang juga. Syukurlah, aku tidak terlambat. Aku segera mengambil ponselku dan mengirim SMS untuk memberi tahu Profesor kalau aku sudah di ruangan.
Tak perlu menunggu lama, SMS balasan dari Profesor pun tiba.
“Alhamdulillah, Mbak Nadya. Saya sebentar lagi selesai. Wassalam.”
Aku tersenyum geli membaca jawaban Profesor. Alhamdulillah—bahkan sampai kata itu keluar. Parah sekali kelakuanku, pikirku.
Pukul 09.30, dan Profesor masih belum datang juga. Aku mencoba membunuh waktu dengan menghabiskan tesis George Ritzer tentang “McDonaldisasi Masyarakat”. Mungkin ada bahan yang bisa menjadi inspirasi untuk berdiskusi dengan Profesor nanti.
Profesor baru datang ketika jarum jam menunjukkan waktu hampir pukul sebelas. Seperti biasa, Profesor langsung masuk ke dalam ruangannya. Seseorang tampak mengikuti Profesor dari belakang. Sepertinya, itu salah satu staf Profesor.
“Mbak Nadya tunggu sebentar, ya.” Profesor keluar sebentar untuk memberitahuku.
“Ya, Pak.” Aku menoleh dan menjawab singkat.
Profesor kembali masuk ke dalam ruangan dan memulai pembicaraan dengan staf yang tadi mengikutinya. Berhubung pintu yang menghubungkan bagian luar dan dalam ruangan Profesor selalu terbuka, ditambah lagi dengan sekat yang hanya terbuat dari partisi, aku pun bisa mendengarkan dengan jelas obrolan Profesor dengan bawahannya itu.
“Anda ini, kan, diminta untuk menghadiri rapat. Nah, Anda paham tidak, apa FILOSOFI bahwa Anda disuruh menghadiri rapat?” Suara Profesor terdengar keras menggelegar seperti ketika mengajar sambil memarahi para mahasiswa di kelas.
Wow! Aku memasang telingaku baik-baik. Aku sendiri sering disuruh mengikuti rapat oleh atasanku di kantor. Namun, rasanya aku tidak pernah sekalipun ditanya tentang FILOSOFI menghadiri rapat.
“Kalau Anda diminta menghadiri rapat, itu FILOSOFINYA apa? Apakah Anda hanya duduk diam dan mendengarkan? Apakah Anda diminta mewakili? Apakah Anda memiliki hak untuk memberikan pendapat dan masukan? Atau apakah Anda juga berhak untuk ikut mengambil keputusan di sana? Pahami dulu FILOSOFINYA!”