“Teman-teman, tadi saya ketemu Bu Indri. Bu Indri bilang kalau dia dapat telepon dari Profesor yang menyuruh teman-teman untuk segera menyelesaikan tesis dan mengajukan jadwal untuk sidang pratesis. Profesor ingin kita semua lulus semester ini.”
Beberapa baris pesan di grup percakapan yang ditulis Lisa tak urung membuatku berteriak girang.
“Siap! Saya sudah siap dari bab1 sampai 5. Ayo pratesis!” Aku mengirimkan pesan ke grup percakapan. Bak gayung bersambut, beberapa mahasiswa yang merasa sudah siap pun ikut menyahut.
“Hayuk, kapan bimbingan lagi?” tulis Aisha.
“Sip!” Raafi tidak mau kalah.
Eva tak lama mengirimkan screenshot SMS dari Profesor:
“Mbak Eva harus segera pratesis. Saya tunggu.”
Begitu yang tertulis pada screenshot yang dikirim Eva.
“@Mbak Nadya & @Mbak Eva kapan ke Bandung?” tulis Nadine.
Pagi itu, ponselku pun riuh rendah dengan bunyi sahut-menyahut pesan dari grup percakapan di Whatsapp.
Tahun 2015 sudah berlalu. Artinya, semester baru akan segera dimulai. Beberapa hari yang lalu, Bu Indri meneleponku dan memberitahu kalau aku harus segera melakukan registrasi untuk semester baru. Yang barang tentu, aku harus membayar lagi untuk semester baru. Jumlahnya? Separuh bayaran semester lalu ditambah dengan bayaran penuh untuk semester berikutnya. Empatjuta seratus dua puluh lima ribu rupiah, ditambah 8.250.000 rupiah. Total sebesar 12.375.000 rupiah! Sepertinya aku “kalah taruhan”.
Bu Indri menjelaskan, kalau kami sudah bisa lulus sebelum tanggal 18 Januari 2016, kami cukup membayar 250.000 rupiah untuk biaya wisuda. Namun, jika tidak, kami harus membayar penuh. Jika tidak sanggup membayar, boleh menunggak dengan membuat surat permohonan penundaan pembayaran yang ditandatangani ketua jurusan. Itulah informasi yang didapatkan Bu Indri. Kalau ingin lebih jelas lagi, silahkan tanya langsung ke bagian keuangan di gedung rektorat.
Dalam waktu dekat, aku harus ke Bandung dan mengurus semuanya. Aku berharap masih bisa mengejar tanggal 18 Januari meski rasanya itu mustahil. Minggu pertama bulan Januari sudah berjalan. Artinya, aku hanya memiliki waktu sekitar dua minggu untuk mengejar sidang. Dua belas juta bagaimanapun jumlah yang sangat besar.
Uang yang ada di tabunganku bahkan tidak sampai 10 juta rupiah. Meminta Emile? Aku tidak enak, apalagi pengeluaran kami bulan ini sangat banyak. Mobil kami yang usianya belasan tahun—karena kami membeli dalam kondisi bekas—mulai ngambek dan butuh banyak biaya untuk memperbaikinya. Itu pun belum semuanya selesai. Kami sempat berpikir untuk menjual mobil tersebut. Hanya saja, nanti kami bepergian naik apa? Sementara untuk mengganti dengan yang baru pun uang kami belum cukup. Di Yogyakarta, bisa “mati gaya” jika tidak punya kendaraan pribadi karena angkutan umum sangat terbatas.
Aku memberanikan diri untuk mengirim SMS kepada Profesor. Aku sudah siap, kok. Silakan saja tentukan tanggal pratesisnya. Perhitunganku, aku akan ke Bandung untuk bimbingan sekalian meminta jadwal pratesis. Selanjutnya, aku akan melakukan sidang pratesis, kemudian tinggal sidang tesis terakhir. Dulu, Lisa hanya membutuhkan waktu tiga hari dari sidang pratesis ke tesis. Waktu yang sangat singkat dan nekat. Aku rasanya bisa lebih nekat lagi. Harus!
...
Sehari, dua hari, Profesor masih belum membalas SMS-ku. Sementara itu, grup percakapan kembali heboh karena Eva sudah mendapatkan jadwal untuk sidang pratesis minggu depan.
Sudahlah! Aku mau nekat saja dengan datang ke sidang pratesis Eva, lalu “menodong” Profesor dengan draf tesisku. Maka, aku pun segera berburu tiket ke Bandung.
Tak lama setelah aku mendapatkan tiket, ternyata Profesor membalas SMS-ku.
“Mbak Nadya, silakan datang hari Kamis depan. Temui saya pukul empat sore untuk bimbingan setelah sidang pratesis Eva. Saya sarankan, Mbak Nadya juga datang ke sidang pratesis Eva. Wassalam.”
Puji Tuhan! Aku mengucap syukur dalam-dalam. Mungkin ini yang dinamakan “mestakung”—semesta mendukung. Aku merasa semua kebetulan ini seperti sudah direncanakan dalam sebuah skenario.
Aku segera mempersiapkan semuanya. Draf tesis dari bab satu hingga lima, pakaian, laptop, ponsel, Sennheiser, dan barang lain yang kubutuhkan.
...
Aku tiba di Bandung Senin malam. Aku segera melesat ke Jalan Jawa, ke balai diklat yang menyediakan kamar murah meriah dengan tarif 25.000 rupiah per orang per malam. Aku mendapat informasi bahwa PNS di kementerian tempatku bisa-bisa saja menginap di balai diklat asalkan kamar tersedia. Tentu saja dengan harga khusus. Dan tentu saja aku tidak memberitahukan kepada pengurus penginapan balai bahwa aku sudah tidak di kementerian itu lagi. Kalau ingat masalah mutasi di kantorku ingin rasanya aku meledak! Gara-gara mutasi, semua berantakan! Ah … ya sudahlah! Yang penting tesisku selesai dan aku lulus sebagai magister. Seandainya pun aku harus keluar, aku sudah memiliki modal lebih dari cukup untuk melamar di tempat lain dengan ijazah S2-ku itu.
Sampai di balai, aku segera meminta kunci kepada penjaganya, menaruh barang, tiduran sebentar, lalu berjalan keluar mencari makanan dan minuman sachet, kembali lagi ke kamar, mandi air panas, dan membuka file tesisku. Sebuah pesan masuk dari Eva yang memberitahukan kalau ia akan tiba di Bandung esok. Ia memintaku untuk bertemu di gedung rektorat.
...
Selasa pagi, aku meluncur menuju Jalan Pasteur, tempat gedung rektorat yang memang terpisah dari gedung kampus. Ternyata di sana sudah ada Nadine dan Aisha. Mereka bermaksud untuk meminta formulir penundaan pembayaran kuliah.
“Nih.” Nadine memberikan selembar formulir kepada Aisha. “Cuma dikasih satu. Tapi katanya boleh difotokopi.”
Aisha mengambil formulir tersebut dan mengamati isinya. Aku duduk di samping Aisha
“Mbak mau fotokopi juga?” Aisha menyodorkan kertas itu padaku.
Aku melihat kertas itu sambil menimbang-nimbang, apakah aku akan bertaruh saja dengan jadwalku, membayar saja uang kuliah dengan mencari pinjaman, atau mengajukan permohonan penundaan pembayaran.