Kelas Terakhir

Nadya Wijanarko
Chapter #17

BAB 16 - TENGGAT WAKTU

Kamis siang menjelang sore. Sidang dimulai pukul tiga sore—terlambat satu jam dari jadwal. Eva maju ke depan kelas untuk mempresentasikan hasil penelitiannya. Wajahnya tegang dan matanya sedikit cekung seperti orang kurang tidur. Kenyataannya, Eva memang tidak bisa tidur semalaman. Makan pun tidak nafsu. Kotak makanan Eva masih tertutup rapat.

Profesor memberikan kesempatan kepada Eva untuk mempresentasikan hasil penelitiannya dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Begitu aturannya, memang. Kenyataannya, bagaimana mungkin Eva bisa menyelesaikan presentasinya hanya dalam waktu dua puluh menit, jika Profesor selalu memotong omongan Eva, bahkan nyaris di setiap slide? Akhirnya, Eva baru bisa menyelesaikan presentasinya dalam waktu satu jam. Dan dilanjutkan dengan tanya-jawab.

Lisa adalah yang pertama kali terkena “tembakan” Profesor. Lisa sendiri sebenarnya sudah lulus. Namun, hari itu ia ada sedikit perlu dengan Profesor. Tentu saja, ia pun bersedia hadir sebagai penyemangat rekan-rekannya yang belum lulus.

Lisa bertanya tentang fluktuasi produksi kayu. Ada masa-masa tertentu ketika produksi kayu melonjak drastis dan masa-masa lainnya yang sedikit. Lisa ingin tahu apakah ada faktor yang menyebabkan fluktuasi tersebut; apakah terkait dengan kondisi alam, masa panen, kebiasaan masyarakat, atau bagaimana. Lisa pun memberikan masukan agar Eva menganalisis lebih lanjut mengenai kondisi tersebut.

Selesai dengan Lisa, Profesor kembali mengomentari. Kali ini Profesor menyinggung-nyinggung faktor sosial dan budaya. Tentang industri kayu yang tidak mampu mengangkat Ciamis dari kemiskinan.

Sebenarnya, aku sudah bisa menangkap maksud Profesor ketika ia tiba-tiba mengungkit faktor sosial dan budaya. Ia pasti ingin menodongku untuk bertanya. Hanya saja, kalimat pembukanya sungguh tidak mengenakkan hati.

“Kebetulan di sini kita punya sosiolog. Namanya Nadya. Jadi, mari kita dengarkan pendapat dari sosiolog kita.” Profesor langsung menembakku telak.

Dosen waliku yang selalu menjadi partner setia Profesor untuk menguji mahasiswa-mahasiswanya melirikku dengan senyum licik penuh kemenangan. Aku menunduk sambil menutupi wajahku dengan tangan. Amsyong!

Toh, aku tetap bertanya juga. Untungnya, otakku sedang waras. Aku menyinggung tentang “budaya kayu” di Ciamis yang sudah berlangsung sejak lama; kerajinan kayu, istana yang terbuat dari kayu. Yang artinya, masyarakat Ciamis akrab dengan kayu. Bahkan, sekelilingnya pun masih banyak hutan. Namun, sepertinya budaya ini kurang didukung.

Profesor mengangguk sepakat dengan komentarku. Tampaknya ia cukup puas. Diskusi kembali berlangsung. Eva mencoba menjelaskannya. Eva sempat menyinggung masalah anggaran dana yang kurang. Namun Profesor sepertinya kurang sepakat jika masalah anggaran selalu menjadi kambing hitam. Begitu pula dengan dosen waliku yang menjadi salah satu penguji. Ia lebih menekankan pada konsep pemerintahan enterpreneurship di mana pemerintah daerah seharusnya bisa lebih kreatif lagi.

Sidang pratesis Eva berakhir pukul lima sore. Dua jam sudah sidang berlangsung.

“Mbak Eva, untuk presentasinya, coba lihat punya Lisa. Pilihan huruf dan warna kamu itu kurang enak dilihatnya,” komentar Profesor.

Ia kemudian memanggil Lisa. “Lisa, coba kamu bantu Eva, ya?”

“Baik, Pak,” jawab Lisa.

Profesor kemudian memanggilku. “Ini kayanya kemarin ada yang SMS saya minta bimbingan. Hayo, Mbak Nadya, sudah siap?”

“Sudah, Pak,” jawabku.

Aku melirik Nadine dan Raafi yang tampaknya juga ingin melakukan konsultasi. Aisha belum percaya diri karena drafnya masih berantakan.

“Mbak Nadya dulu, ya, soalnya dia yang minta pertama kali,” ujar Profesor.

Lihat selengkapnya