Pertemuan selanjutnya dengan Profesor ternyata baru berlangsung dua minggu kemudian, di minggu ketiga bulan Januari. Seminggu terbuang sia-sia. Aku sepertinya harus mengubur dalam-dalam rencanaku untuk lulus tanggal 18 Januari. Hari ini, Senin, adalah tanggal 18 Januari, yang menjadi batas akhir kelulusan jika ingin hanya membayar 250.000 rupiah sebagai uang tunggu wisuda. Jadi, mau tidak mau aku harus menyiapkan uang untuk pembayaran semester ini. Tentu saja aku akan mengambil nol SKS. Kalau “hanya” 4.125.000 rupiah, tabunganku masih cukup.
Yang aku sesalkan adalah Eva. Seharusnya, jika Eva bisa melakukan perbaikan dan bertemu Profesor seminggu yang lalu, ia masih bisa mengejar sidang sebelum tanggal 18 Januari. Namun, Eva malah membuang-buang waktunya. Eva sendiri menganggap ini adalah murni keteledorannya.
Memang terjadi kesalahpahaman antara Eva dengan Profesor. Tiga hari setelah sidang pratesis, Profesor mengirimkan SMS yang menyuruh Eva untuk datang hari Senin. Entah bagaimana, SMS dari Profesor yang panjang tidak langsung diterima Eva secara utuh. Bagian akhir SMS yang menyuruh Eva untuk datang pada hari Senin tidak sampai. Akibatnya, Eva tidak datang.
Profesor memang tidak menggunakan aplikasi percakapan seperti Whatsapp. Ia masih setia dengan ponsel communicator yang menurutnya tahan lama dan relatif lebih aman dari peretasan. Tentu saja, ponsel model communicator yang digunakan Profesor tidak bisa mengunduh aplikasi percakapan semacam Whatsapp. Makanya, Profesor masih menggunakan SMS sebagai jalur komunikasi. Mengirimkan pesan melalui SMS jelas tidak seleluasa aplikasi, terutama jika ingin mengirimkan pesan panjang.
Eva sendiri sudah pasrah. Mungkin itu memang bukan rejekinya. Namun, aku mengkhawatirkan hal lain; aku khawatir Profesor mengungkit-ungkit sikap Eva dan menumpahkan amarahnya di depan yang lain. Jadi, hari ini aku menunggu Profesor dengan perasaan ketar-ketir.
Waktu menunjukkan pukul dua siang. Aku berada di ruang tunggu ruangan Profesor bersama dengan Eva, Nadine, dan Aisha. Raafi sepertinya berhalangan hadir. Aku melihat wajah Eva sangat pucat seperti orang sakit.
“Aku ketularan ibuku kayanya.” Eva berbicara dengan suara parau sambil berusaha menahan batuk.
“Sabtu kemarin, ibuku masuk rumah sakit. Sampai sekarang masih belum keluar dari rumah sakit. Hari Minggu kemarin aku nungguin ibuku. Kayanya gara-gara itu aku ketularan,” lanjut Eva.
Aku jadi prihatin dengan Eva. Ternyata, bukan hanya aku yang memiliki masalah. Eva pun juga ada masalah. Mungkin ini yang membuat Eva teledor minggu lalu.
“Sepertinya masalah kita justru non teknis yang nggak ada kaitannya dengan tesis sama sekali.” Aku tiba-tiba teringat pada materi tentang optimisasi.
Aku sendiri juga ada masalah dengan kantorku. Aku masih bingung untuk menghadapi permasalahan di kantor setelah aku lulus nanti.
Profesor kembali datang terlambat. Jam tiga sore ia baru muncul. Kami segera masuk. Yang pertama dipanggil, tentu saja Eva. Aku tadinya khawatir kalau-kalau Profesor akan menyembur Eva. Untunglah sikap Profesor sangat baik dan tidak ada tanda-tanda akan marah. Ia hanya menanyakan perbaikan yang sudah dilakukan Eva dan meminta formulir permohonan ujian sidang tesis yang harus ditandatanganinya.
“Kalian bawa formulir permohonan sidang pratesis?”
Aku menggeleng. Begitu juga Nadine dan Aisha.
“Ya sudah. Kalau begitu, nanti kalian temui saya hari Kamis sebelum sidang Eva. Kira-kira pukul dua siang.”
“Baik, Pak,” jawab kami nyaris serempak.
Eva mendapatkan jadwal sidang hari Kamis. Aku punya jeda waktu tiga hari. Aku sempat menimbang-nimbang apakah akan kembali ke Yogyakarta atau menunggu di Bandung saja. Dan akhirnya, aku pun memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta saja.
...
Rabu. Pukul sepuluh pagi. Aku sedang menyiapkan sarapan dan beres-beres rumah. Emile sedang bersiap untuk berangkat kerja. Tiket ke Bandung untuk nanti malam sudah di tangan. Malabar, seperti biasa. Namun, kali ini aku terpaksa memilih kelas ekonomi karena harganya lebih murah.
Besok adalah hari yang sangat menentukan untuk Eva. Dan untukku juga karena aku akan mendapatkan jadwal sidang pratesis.
Aku baru akan menyiapkan baju dan perlengkapanku ketika ponselku berdering. Sebuah SMS masuk. Aku segera membukanya. Dari Profesor.
“Nadya, Nadine, dan Aisha. Sidang Eva saya tunda. Tesis belum diperbanyak. Parahnya lagi, nyonya ini sedang berada di Ciamis. Tidak ada waktu untuk mengedarkan tesis. Saya besok mengajar di Teknik Geodesi pukul 13.00. Wassalam.”
Apa-apaan ini? Aku menatap layar ponselku tidak percaya. Sidang Eva ditunda. Lalu bagaimana dengan nasibku? Apakah itu artinya pertemuan besok ditunda juga? Nadine dan Aisha ada di Bandung. Raafi di Jakarta. Bagi mereka, jadwal kapan pun tidak masalah. Namun, aku ada di Yogyakarta. Aku harus berjibaku dengan tiket. Jarak yang jauh, waktu tempuh yang lama, dan harga tiket yang tidak bisa dibilang murah. Aku tidak bisa bermain-main dengan jadwal.
Meski demikian, aku merasa lucu juga dengan kata-kata Profesor. Aku merasakan kemarahan dalam kata-kata yang ditulis Profesor (makanya, aku khawatir juga dengan mood Profesor). Namun, di sisi lain, kata-kata Profesor seolah ingin curhat. Sampai menyebut Eva dengan “nyonya”. Untung saja pikiranku sedang dalam kondisi waras. Karena—jujur saja—aku tadi hampir saja spontan menulis jawaban SMS dengan ini:
“Sehat, Pak?”
“Ada apa?” Tiba-tiba Emile bertanya.
Aku menggeleng.
“Nanti malam kamu jadi ke Bandung, kan?” tanyanya lagi.
“Iya,” jawabku singkat. Aku sengaja tidak memberitahukan isi SMS itu kepada Emile. Takutnya ia malah ikut stress.
Ah, biar sajalah! Itu, kan, masalah Eva dengan Profesor. Aku tidak ada masalah apa-apa dengan Profesor, dan aku tetap memegang kata-kata Profesor yang menyediakan waktunya hari Kamis siang. Jadi, aku pun menjawab seperti ini:
“Baik, Pak. Terima kasih banyak atas informasinya. Wassalam”.
...
Kamis pagi aku sudah berada di Bandung. Malabar tiba pukul 08.23—mungkin lebih sedikit. Tidak terlambat, dan kalaupun terlambat, aku tidak dalam kondisi diburu waktu juga. Setibanya di Bandung, aku kali ini bisa menumpang mandi di masjid kampus. Aku sudah dalam kondisi rapi untuk bertemu Profesor siang nanti.
Pagi ini aku memutuskan untuk nongkrong di sebuah restoran ayam goreng dan burger waralaba internasional yang buka dua puluh empat jam. Seklaigus mengisi perutku yang keroncongan. Sebenarnya aku malas makan di sini karena harganya cukup mahal. Namun, aku butuh suasana untuk mengistirahatkan badan. Bawaanku sangat berat karena ada tiga rangkap tesis yang aku bawa dari Yogyakarta.
Aku mengambil ponsel dan mengirimkan SMS kepada Profesor untuk meminta waktu bimbingan hari ini. Masa bodoh! Lebih baik aku nekat daripada sidangku tertunda. Meski aku pikir suasana hati Profesor sedang tidak bagus karena keteledoran Eva. Jujur saja, aku agak jengkel dengan Eva. Masalahnya, apa yang ia lakukan bisa berpengaruh pada mahasiswa yang lain. Aku tidak terima jika jadwalku berantakan akibat sesuatu yang bukan kesalahanku.
Profesor belum menjawab pesanku. Aku memakluminya. Bukankah biasanya memang begitu (Profesor tidak langsung menjawab SMS)? Aku sedang menyedot es teh lemon ketika Aisha mengirimkan pwsan.
“Mbak, nanti siang jadi ketemu Profesor?”
Aku mengetik singkat.