Kelas Terakhir

Nadya Wijanarko
Chapter #19

BAB 18 - KOLOKIUM

Senin, sehari menjelang sidang pertamaku. Aku sudah berada di kampus dan sibuk di ruang komputer. Aku tengah mengutak-atik bahan untuk presentasi besok. Aku membuatnya dibantu Emile. Harus kuakui, Emile memang memiliki sense yang bagus untuk desain. Dulu, presentasinya mendapatkan pujian. Dengan “resep” yang kurang lebih sama, ia memberikan masukan-masukan untuk presentasiku. Latar belakang gambar dan bentuk huruf yang tidak pasaran menjadi andalan.

Selain itu, aku menyisipkan sedikit “kejutan” di tengah presentasiku. Maksudku, aku ingin sedikit memberikan “hiburan” mengingat sidang-sidang mahasiswa bimbingan Profesor selama ini selalu serius dan cenderung tegang. Sedikit humor rasanya bisa mencairkan suasana.

Aisha juga tengah mempersiapkan presentasinya. Namun, ia mengerjakannya di sebuah kafe di jalan Riau yang memang pusatnya kafe. Banyak kafe di sana yang enak digunakan untuk nongkrong sekaligus bekerja dengan suasana yang cozy. Aku juga ingin bergabung sebenarnya. Namun, aku takut malah lebih banyak mengobrol daripada mengerjakan tesisku sendiri.

Malam ini aku kembali menginap di balai diklat. Entah apakah para petugas balai sudah tahu kalau aku sudah bukan orang di kementerian tersebut lagi. Aku tidak terlalu peduli. Toh, aku sudah punya hubungan baik dengan mereka. Bagiku itu jauh lebih penting daripada sekadar kesamaan instansi.

...

Akhirnya tiba juga. Hari ini aku melangkahkan kaki ke kampus dengan perasaan tidak keruan. Aku gugup menghadapi sidang pertamaku. Pukul setengah sembilan pagi aku sudah di jurusan. Meja Bu Indri adalah yang pertama aku datangi.

“Eh, ini dia yang mau sidang,” sapa Bu Indri.

Aku tersenyum.

“Udah siap belum?”

“Siap nggak siap, ya harus siap, Bu,” jawabku. “Tesis sudah dikasih, kan?” Aku memastikan.

“Sudah. Snack juga udah. Pokoknya kamu tinggal siapin mental aja. Ya?” Bu Indri mencoba menghiburku.

Aku lagi-lagi hanya tersenyum. Tak lama Aisha juga datang.

“Aku mau nge-print dulu slide presentasinya. Buat difotokopi,” ujarnya sambil menitipkan tas ke Bu Indri.

Oh! Ya ampun! Aku sampai lupa mencetak dan memperbanyak slide presentasiku. Ah! Benar-benar bodoh! Bagaimana mungkin aku melupakan hal sepenting ini?

Aku segera bergegas ke ruang komputer. Begitu juga Aisha. Sayangnya, printer di ruang komputer kehabisan tinta warna. Hanya ada yang hitam-putih.

Aku dan Aisha akhirnya melesat ke tempat fotokopi di depan perpustakaan. Sepertinya hari masih terlalu pagi bagi mahasiswa untuk beraktivitas sehingga aku dan Aisha menjadi pelanggan pertama. Ada dua buah printer berwarna yang masih menganggur. Kami pun menggunakannya masing-masing satu.

Aku menyusun dua slide dalam satu halaman untuk menghemat kertas (dan waktu juga tentunya). Begitu juga dengan Aisha. Tiga rangkap print out slide presentasi untuk para dosen, dan sisanya cukup difotokopi saja untuk mahasiswa yang datang. Slide-ku yang banyak bermain di gambar membuatku panik karena berpengaruh pada kecepatan mencetak. Slide Aisha tidak terlalu banyak gambar. Namun, apesnya ia mendapatkan komputer yang agak lemot. Walhasil, kecepatan kami pun sama saja.

Aku melirik jam dengan gelisah. Lima menit menjelang pukul sembilan pagi.

“Bu, ini tolong difotokopi. Sepuluh lembar saja.” Aku menghitung perkiraan jumlah mahasiswa yang datang. Perkiraanku, sih, tidak terlalu banyak. Karena “kegemaran” Profesor yang sering menembak mahasiswa untuk bertanya, tidak banyak mahasiswa yang berani menghadiri sidang pratesis para mahasiswa bimbingan Profesor.

Tepat pukul sembilan, bahan presentasiku selesai diperbanyak.

“Aku duluan, ya.” Aku pamit pada Aisha yang masih menunggu cetakannya selesai.

“Ya, Mbak,” jawabnya sambil menyusun print out yang baru jadi.

Setengah berlari aku menuju kelas. Ternyata Profesor belum datang. Yang sudah ada baru Raafi dan Nadine. Aku bernapas lega. Setelah memberikan copy print out-ku kepada mereka, aku pun keluar. Rasanya aku lebih baik menunggu di luar saja untuk meredakan ketegangan. Segelas kecil kopi hitam tampaknya cukup menjadi obat penenang untuk kepalaku.

Dosen waliku yang selalu menjadi salah satu dosen penguji untuk mahasiswa bimbingan Profesor keluar dari ruang jurusan. Ia melihatku dan tersenyum.

“Siap, Mbak?”

Aku balas tersenyum dan mengangguk. Aisha tak lama juga datang. Setelah menghabiskan kopi, aku kembali ke kelas. Aku kemudian mempersiapkan peralatan yang akan aku pakai untuk presentasi. Aku sengaja menggunakan laptopku sendiri karena khawatir ada program yang tidak cocok jika menggunakan komputer yang disediakan jurusan. Kabel proyektor aku tancapkan ke laptopku. Seketika, tampilan laptopku terpampang di layar.

Kelas masih sepi dan hanya berisi empat orang, yaitu aku, Aisha, Raafi, dan Nadine. Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, Profesor masuk ke dalam ruangan dan langsung duduk. Suasana mendadak hening.

“Tolong mulai presentasinya sekarang.” Profesor berkata singkat namun tegas.

Aku bergegas bangkit menuju meja tempat laptopku terpasang dengan proyektor. Dan aku melihat layar laptopku gelap gulita!

Damn! Kok, aku bodoh sekali, ya, sampai melupakan hal vital seperti ini? Laptopku memang sedikit aneh. Jika dinyalakan dalam waktu terlalu lama tanpa ada aktivitas sama sekali, laptopnya akan mati. Sleeping, begitu istilahnya. Jadi, untuk menjaga agar laptop tetap menyala, aku biasanya memancingnya dengan memutar lagu di Winamp. Namun, sepertinya pagi ini aku terlalu gugup sampai melupakannya.

Laptop berhasil aku hidupkan. Namun, tampilan melalui proyektornya belum muncul. Aku pun panik. Nadine yang melihat kepanikan di mataku langsung bergegas keluar dan memanggil pegawai yang biasa bertugas di ruang komputer. Sayangnya, Profesor sepertinya tidak sabar.

“Kalau kamu nggak bisa, panggil orang yang bisa!” Profesor tiba-tiba membentakku.

Aku semakin gugup. Untunglah Pak Agus, pegawai yang berjaga di ruang komputer segera datang. Setelah diutak-atik sebentar, layar proyektor kembali menyala menampilkan tayangan dari laptopku. Suasana kembali normal. Emmm … tidak juga, sih….

Bentakan Profesor barusan membuat suasana di dalam kelas menjadi sedikit tegang. Aku mulai paham dengan “permainan psikologis” yang dulu pernah disampaikan dosen waliku. Eva pernah dimarahi. Lisa juga pernah dibuat menangis. Jadi, rasanya kurang afdol jika aku tidak mendapat gojlokan apapun. Hanya saja, aku tidak menyangka Profesor akan melakukannya di sini: di depan kelas, di depan orang-orang yang mulai memasuki ruang kelas, di depan dosen waliku dan dosen penguji, di depan teman-temanku dan beberapa adik kelas dan mahasiswa dari kelas program kelas khusus. Padahal sebelum-sebelumnya Profesor tidak pernah sekalipun memarahiku; tidak ketika aku terlalu lama menghilang, tidak juga ketika aku menyampaikan perkembangan tesis yang tidak seberapa, dan tidak sama sekali di kelas kuliah. Ini adalah pertama kalinya Profesor membentakku.

Aku baru akan mempersiapkan presentasiku ketika Profesor tiba-tiba kembali melontarkan kata-kata yang menyindirku.

“Judul tesis yang bagus itu harus bisa menggambarkan isi tesis. Harus bisa membuat orang yang membaca paham apa yang dibahas. Kalau judulnya tidak jelas, tidak menggambarkan isi tesis, itu adalah judul yang sangat jelek. Coba kamu baca judul tesis kamu!” Profesor memberikan perintah dengan nada yang menurutku lebih mirip bentakan.

Aku pun membaca judul dengan gugup. Belum selesai aku membaca semuanya, Profesor tiba-tiba memotong ucapakanku.

“Apa itu ‘energi terbarukan’?”

Aku mencoba menjelaskan definisinya. Namun, bukan itu yang dimaksud Profesor.

“Energi terbarukan yang kamu bahas di tesis kamu itu apa?”

“Tenaga hibrid, Pak. Gabungan antara tenaga angin dan sinar matahari,” jawabku semakin gugup.

Lihat selengkapnya