Kelas Terakhir

Nadya Wijanarko
Chapter #20

BAB 19 - KOLOKIUM, SESI SELANJUTNYA

Aku membereskan laptop, kertas, dan alat perekam, kemudian menuju barisan belakang kelas dan duduk di samping Eva. Tiga buah kotak makanan berisi kue terletak di meja belakangku. Aku segera mengambil satu dan melahap isinya. Tadi pagi aku memang belum sempat sarapan. Aku tidak nafsu makan karena terlalu tegang memikirkan sidang hari ini.

“Mari kita dengarkan paparan teknolog kita. Kalau yang tadi, itu sosiolog, meskipun sosiolog kurang gizi.” Profesor sepertinya masih belum puas mencecarku.

Aku tersenyum saja menanggapi Profesor. Hari ini, aku memang kurang gizi, kok. Memang aku belum makan apa-apa sejak pagi.

Nadine mencolokkan kabel proyektor ke laptopnya. Ia juga memilih menggunakan laptopnya sendiri. Tema tesis Nadine adalah pelaksanaan e-government di lingkungan Pemerintahan Daerah Jawa Barat. Nadine memaparkan presentasinya dengan lancar. Sesekali Profesor menginterupsinya. Namun tidak sesering ketika aku presentasi tadi.

Setelah selesai presentasi, Profesor kembali menunjuk satu per satu mahasiswa yang hadir untuk memberikan pertanyaan. Termasuk aku karena aku tadi sudah presentasi. Aku menanyakan kesiapan para aparat dalam melaksanakan e-government dengan mencuplik sedikit peristiwa kekinian di dunia PNS, yaitu registrasi ulang online. Profesor tampak puas dan senang dengan pertanyaanku yang relevan dengan isu kekinian tersebut.

Menurutku, Nadine sudah memberikan performa terbaiknya. Namun, dosen waliku yang menjadi penguji pamungkas malah menganggapnya kurang greget.

“Kamu punya semua data yang kamu kumpulkan, tetapi kenapa kok nggak kamu keluarkan semuanya? Kamu itu kurang greget. Ibarat mobil, kamu itu mobil 500cc,” ujar dosen waliku dengan gaya nyinyir, nyelekit, dan nyebelin seperti biasa.

“Mana ada mobil 500cc, Pak. Paling kecil 900cc.” Aku mencoba membela Nadine.

Dosen waliku menoleh dan kemudian kembali berkata. “Tuh, mobil paling kecil itu 900cc. Lha kamu 500cc….” Dosen waliku tetap dengan nyinyirannya.

Nadine tampak menekuk wajahnya.

Nadine menyelesaikan presentasinya pukul satu siang. Satu setengah jam; setengah jam lebih cepat dibanding aku.

Selanjutnya, yaitu Aisha. Ketika Aisha menampilkan presentasinya, aku merasa kalau tulisan di layarnya terlalu kecil. Ternyata Profesor juga merasakan hal yang sama, karena kemudian ia menyindir Aisha.

“Sha, kamu kalau presentasinya kayak begitu, lain kali kasih teropong dulu ke penontonnya, biar kita semua baca presentasi kamu pakai teropong.”

Aisha tampak tersipu. Meski demikian, ia tetap melanjutkan presentasinya. Tesis Aisha adalah tentang perbandingan layanan rumah sakit di Bandung. Aisha tampak menghayati sekali ketika mempresentasikan temuan lapangannya. Bahkan, sampai-sampai dosen waliku mengira kalau ia bekerja di dinas kesehatan. Yang sebenarnya adalah, Aisha itu sering sakit-sakitan dan masuk rumah sakit. Tentu saja Aisha memanfaatkan sakitnya itu untuk sekalian saja meneliti kondisi rumah sakit.

“Bagaimana cara kamu mengetahui kondisi rumah sakit?” tanya Profesor di sela-sela presentasi Aisha.

“Anu, Pak, saya mendatangi rumah sakit, melihat keadaan, lalu bertanya ke orang-orangnya juga….”

“Kamu pakai gaya Nadya, dong: saya OBSERVASI LANGSUNG!” Profesor kembali memotong ucapan Aisha.

Aku yang tengah minum pun terbatuk hingga nyaris tersedak. Kok, masih saja namaku disebut? Rupanya Profesor belum puas “bermain-main” denganku.

Lihat selengkapnya