Kelas Terakhir

Nadya Wijanarko
Chapter #23

BAB 22 - MENUNGGU

Bus tiba di terminal Jombor, Sleman, Yogyakarta, ketika hari sudah terang. Aku pun melanjutkan perjalanan dengan taksi menuju rumah. Dan langsung tertidur ketika tubuhku menyentuh kasur.

Aku terbangun ketika mendengar azan berkumandang dan langsung melihat ponsel. Profesor masih belum juga mengirimkan kabar. Aku semakin gelisah. Aku akan menunggu sampai pukul dua siang saja. Kalau sekarang, Profesor pasti juga sedang salat Jumat, dan setelah itu mungkin beristirahat. Jam istirahat kantor di hari Jumat setahuku sampai pukul setengah dua siang.

Pukul dua siang, aku memberanikan diri untuk mengirimkan SMS kepada Profesor sekali lagi. Dengan isi yang kurang lebih sama seperti SMS sebelumnya. Yang intinya aku meminta waktu untuk bimbingan. Sent.

Dan kali ini, tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menerima balasannya. Tidak sampai satu jam, SMS balasan dari Profesor datang.

“Mbak Nadya, saya harus mengatur jadwal saya dulu. Wass.”

Singkat. Namun masih belum ada kepastian juga. Aku pun mengirimkan balasannya.

“Baik, Pak. Terima kasih atas informasinya. Mohon maaf telah mengganggu waktu Bapak.”

Sent. Dan balasannya kembali datang dengan segera.

“Tidak mengganggu, Mbak Nadya. Wass.”

Sekarang, aku jadi merasa bersalah. Kesannya, aku jadi seperti memaksa Profesor. Namun, aku memang tengah diburu waktu. Permohonan maaf yang aku tuliskan bukan basa-basi—aku benar-benar minta maaf kepada Profesor.

Satu hari berlalu. Sabtu, aku menjalankan aktivitasku seperti biasa. Aku tidak terlalu mengharapkan SMS dari Profesor lagi karena aku rasa ia juga sangat sibuk. Lagipula, ini hari Sabtu. Long weekend pula hingga Senin. Aku rasa tidak ada orang yang ingin hari liburnya terganggu urusan pekerjaan.

Pada hari libur panjang begini, Yogya pasti ramai dengan wisatawan. Begitu pula hari ini. Jalan di depan rumah yang biasanya sepi hari ini ramai dengan lalu lalang kendaraan. Beberapa di antaranya bahkan bus-bus besar pengangkut rombongan wisatawan. Mungkin mereka habis dari Kaliurang atau Bebeng, pikirku. Begitu juga dengan jalan-jalan “tikus” yang biasanya sepi kini ramai. Makanya, aku pun malas keluar rumah. Paling hanya mencari makan di sekitar rumah.

Sabtu malam, Emile mengajakku keluar untuk mencari makan. Namun, karena ini malam Minggu dan banyak wisatawan, kami hanya akan berjalan-jalan tidak jauh dari rumah. Sepeda motor pun menjadi pilihan. Daripada terjebak macet.

Kami berkendara menuju utara melewati sawah-sawah yang tampak gelap. Bayang-bayang gunung Merapi tampak gagah berdiri di kejauhan. Sepeda motor berbelok ke jalan yang menuju Jalan Kaliurang. Hanya saja, mengingat kemungkinan ramai karena libur panjang, kami pun berhenti dan memilih untuk putar balik saja. Lagipula, rasanya kami melihat ada kedai siomay kaki lima di pinggir jalan. Boleh juga untuk makan malam.

Aku meletakkan ponselku di atas meja. Dan saat itulah aku melihat ada SMS masuk. Dari Profesor. Isi SMS-nya lebih panjang dari biasanya karena ternyata Profesor memberikan masukan untuk tesisku. Aku kagum dengan Profesor yang bisa-bisanya mengetik ilmiah begini panjang dengan tatanan bahasa yang teratur di telepon genggam dan dikirim melalui SMS pula (yang artinya memakan pulsa lebih besar juga). Profesor memang beda levelnya.

”Baik, Pak. Terima kasih banyak atas masukannya.” Sent.

Aku membalasnya singkat.

Minggu pagi, aku masih betah bermalas-malasan di atas tempat tidur ketika lagi-lagi ponselku berbunyi.

“Assalamualaikum. Mbak Nadya, silahkan menghadap saya hari Selasa besok. Saya ada waktu jam 13.00. Wassalam.”

Akhirnya Profesor memberikan waktu juga! Akhirnya SMS yang kutunggu datang juga! Aku nyaris saja bersorak kegirangan sampai kemudian aku ingat kalau ini adalah long weekend sampai dengan hari Senin. Yang artinya, tiket untuk hari Senin malam kemungkinan sudah habis!

“Mas Emile!” Aku berteriak histeris.

...

Minggu pagi itu aku belum mandi sama sekali. Begitu pula Emile. Bahkan pakaian Emile masih kotor penuh tanah karena ia tadi habis menanam pohon di halaman rumah.

Tiket untuk Senin malam masih bisa dibeli melalui minimarket berjejaring. Kami pun segera memburunya. Tentu berbekal informasi yang kami dapatkan di internet sebelumnya. Tadi sebelum berangkat, aku dan Emile sempat browsing dan menemukan informasi bahwa masih ada tiket ke Bandung untuk hari Senin.

Sepeda motor berhenti di sebuah minimarket. Sementara Emile memarkir kendaraannya, aku segera berlari masuk ke dalam.

“Mas, tiket ke Bandung untuk hari Senin, masih ada, nggak?” tanyaku.

Kasir minimarket itu dengan sigap membuka komputernya dan mengecek jadwal keberangkatan kereta api dan persediaan tiket.

“Wah, maaf, Mbak. Sudah habis,” jawabnya.

“Habis? Tadi perasaan saya masih lihat di internet?”

“Mungkin, Mbak. Namun ini sudah habis. Memang cepat terjualnya, Mbak,” ujar kasir itu lagi.

Aku pun keluar dari minimarket dengan wajah lesu.

“Bagaimana?” tanya Emile.

Aku menggeleng.

“Kamu minta waktunya diundur lagi aja,” usul Emile.

Aku juga memikirkan hal yang sama. Namun, bagaimana reaksi Profesor nanti? Aku sudah memaksanya menyediakan waktu. Ketika Profesor sudah memberikan waktunya dan malah aku yang minta diundur, jelas aku merasa tidak enak.

“Kondisinya, kan, memang seperti ini. Ini long weekend dan kamu susah dapat tiket. Mau bagaimana lagi?” ujar Emile.

Aku berpikir sejenak.

“Kita balik aja ke rumah dulu. Terus kita cari kemungkinan yang lain. Naik pesawat atau bus, misalnya.” Emile mencoba memberikan solusi.

Lihat selengkapnya