Pagi ini, aku sudah berada kembali di Bandung. Masih pukul sepuluh pagi ketika aku keluar stasiun setelah menghabiskan bekal makanan untuk sarapan yang aku bawa dari Yogyakarta. Seperti biasa, aku keluar melalui pintu selatan stasiun dan langsung menumpang angkot menuju jalan Merdeka, lalu berjalan kaki menuju balai diklat.
Aku segera membersihkan badanku dengan air panas, lalu merebahkan diri di atas tempat tidur. Mataku yang penat perlahan-lahan tertutup. Dan baru tersadar ketika azan berkumandang dari masjid yang berada di samping kamarku persis. Aku pun segera bangkit, salat, dan segera kembali bergegas menuju kampus.
...
Siang itu aku menunggu sendirian di ruang Profesor. Tadi sempat ada salah seorang staf Profesor yang datang memberi tahu kalau Profesor akan terlambat dan aku diminta untuk menunggu saja.
Satu jam berlalu dan belum juga ada tanda-tanda kedatangan Profesor. Aku mencoba menyegarkan ingatan dengan membuka-buka drafku. Entah apakah karena isi drafnya yang terlalu berat atau aku saja yang mengantuk, mataku terasa berat dan beberapa kali gelap. Entah apakah aku tertidur. Yang jelas, langkah Profesor yang masuk ke dalam ruangan membuatku tersadar seketika.
“Tesis kamu itu ngawur.” Profesor berkata dingin namun tegas.
Aku segera masuk ke bagian dalam ruangan. Tas dan ponsel yang sedang di-charge ke powerbank aku tinggal saja di meja ruangan bagian luar.
“Coba kamu gambarkan periodisasi pembangunan PLTH di Bantul dari awal sampai sekarang!” perintah Profesor sambil menunjuk papan tulis.
Aku segera maju dan mengambil spidol. Dan bingung mau menggambar apa. Toh, aku coretkan sesuatu juga. Garis lurus yang aku tandai di beberapa bagian mulai dengan angka dari 2008 hingga 2015. Selanjutnya … aku bingung.
Profesor tiba-tiba berdiri dan keluar dari ruangan. Entah ada apa. Namun, aku merasa beruntung karena dengan begini aku memiliki waktu untuk berpikir dengan lebih tenang lagi. Meski tetap saja tidak ada ide yang masuk ke kepalaku.
“Ini jangan taruh di luar.” Profesor tiba-tiba kembali masuk dan meletakkan ponselku yang masih tertancap kabel di powerbank.
“Terima kasih, Pak.” Aku tersenyum.
Profesor kembali melihat papan tulis, dan menatap pekerjaanku dengan tidak puas.
“Saya heran, kenapa sosiolog-sosiolog itu kebanyakan hanya bisa memetakan persoalan? Data yang kamu miliki itu sudah banyak. Namun, data itu mau kamu apakan? Tindakan teknologis apa yang mau kamu lakukan?”
Aku masih diam. Bingung. Dan tidak ada ide.
“Kamu harus bisa merumuskan usulan kebijakan berdasarkan data yang kamu miliki,” ujar Profesor lagi.
Dan lagi-lagi aku hanya mematung di depan papan tulis. Aku benar-benar tidak ada ide. Tadinya aku pikir tesisku sudah sempurna. Tinggal diperbaiki berdasarkan masukan pada saat pratesis yang menurutku tidak terlalu banyak. Namun, kini Profesor membredelnya lagi.
“Coba kamu gunakan ini.” Profesor memberikan sebuah buku kecil.