Sumatera, 1998
“Sendirian di gunung, di dalam tenda tempat impianku untuk mati.” Sesuatu yang pernah kukatakan saat aku masih SMP.
Pada waktu itu Margie, sepupuku hanya melirik kemudian membalik kertas tipis komik Donald Duck dengan tenaga bagai membalik satu lemari komik. Dipukulnya halaman yang baru dia buka itu lantas membaca kembali dengan wajah berkerut. Margie mungkin sebal karena imajinasi cerita komik di kepalanya buyar seketika. Seharusnya gambaran apa pun itu terganggu sejak Pak Min, sopir keluarga Margie memelankan laju mobil mercy tiger yang dibeli bekas oleh Papi Tri.
“Owalaaa … ada tabrakan!” pekik Pak Min.
Sama seperti Pak Min yang melongok-longok keluar ingin tahu, aku juga melakukan hal yang sama. Sebuah sepeda motor tampak tergeletak di dekat ban truk pengangkut kayu. Bentuknya sudah mirip seperti kertas diremas. Tak jauh dari ‘gumpalan besi’ itu, tergeletak pengendaranya ditutupi koran. Darah menggenang, mengepung pemiliknya seolah-olah bertanya-tanya mengapa tiba-tiba berpindah ke atas aspal. Sama sepertiku yang bertanya-tanya mengapa aku tidak gentar melihat genangan darah manusia. Aku bahkan memelototinya tanpa berkedip.
Petugas kepolisian mengarahkan arus lalu lintas agar tidak macet. Persis ketika kami melewati polisi yang melambai-lambai memerintahkan terus berjalan dengan latar belakang jenazah malang itulah aku mengatakan gambaran kematian impianku.
“Mungkin aku bakal mati muda, Pak. Tapi nggak mau berdarah-darah kekgitu. Maunya sambil naik gunung gitu loh, Pak. Asyik, kan? Mmm, tapi aku nggak mau mati karena tersesat, loh Pak. Maunya sih karena Tuhan mencabut nyawaku gitu aja pas di tempat paling indah yang Dia ciptakan … puncak … gunung.”
“Kau akan panjang umur, If,” kata Pak Min. “Lagian kau, kan belum pernah naik gunung, If. Tau dari mana gunung indah?”