KELESAH

Yunita R Saragi
Chapter #2

-2-

Aku sedang memeriksa naskah berita yang akan naik cetak. Baru saja terjadi penembakan terhadap empat orang mahasiswa Tri Sakti di Jakarta. Sinar Jaya Medan memang koran lokal, tetapi Bang Birham, pemimpin redaksi SJM sangat ambisius menjadi yang terdepan dan teraktual dalam pemberitaan sehingga segera bisa menjangkau nasional. Dia ingin berita yang masih simpang siur itu sudah ada di koran SJM besok pagi. Alhasil kami-kami ini yang dibuatnya pontang-panting. Terutama aku, kasta terendah dalam dunia pengeditan.

Kami para copy editor alias korektor bahasa sering diperlakukan sewenang-wenang oleh Bang Rasyid, salah satu redaktur SJM. Seharusnya kami hanya tinggal memeriksa kesalahan ketik, tanda baca, atau huruf besar kecilnya saja. Namun Bang Rasyid selalu merepotkan kami dengan menyusun kalimat-kalimat yang masih dibiarkannya berantakan. Ditambah harus dengan hati-hati memastikan nama orang, tempat, atau tanggal sudah betul atau belum. Tingkah redaktur senior yang satu itu memang selalu menyebalkan. Mentang-mentang otaknya encer dalam mengotak-atik judul berita yang bisa menarik perhatian, malah semena-mena dengan pekerja teknis macam kami ini. Judul mind blowing juga kalau isi beritanya pakai kalimat-kalimat yang menyesatkan dan bikin salah pengertian itu sama dengan memberikan kado cantik tapi isinya benar-benar bom.

           Pernah Bang Birham, membuat suasana kantor penuh teror selama seminggu penuh karena kesalahan ketik nama salah satu pejabat di kota Medan. Dia sangat rajin dan teliti memeriksa hasil kerja kami semua. Dia tentu ingin berita sudah bersih tanpa satu titik pun kesalahan ketika sampai di tangannya. Jika terjadi sebaliknya, dia mengamuk. Karena menurutnya selain aktual dan terpercaya, kredibilitas sebuah koran itu tergantung pada pilihan bahasa, kerapian EYD, dan juga harus benar-benar tanpa typo satu pun. Typo adalah dosa besar di SJM. SJM pernah mendapatkan penghargaan sebagai koran lokal berbahasa Indonesia terbaik. Pak Win, General Manager SJM menginginkan SJM mempertahankan prestasi itu. Itu yang membuat Bang Birham bagaikan banteng menyeruduk warna merah, saat melihat huruf ‘j’ diketik menjadi ‘k.’

Omong-omong soal Bang Birham, kami semua merasa lebih nyaman bertengkar dengan singa daripada menghadapi kemarahannya. Setidaknya dengan singa bisa langsung tahu kapan dia menerkam. Ancaman tentang pemotongan gaji dan pemecatan terlalu buat merinding beberapa orang, termasuk aku. Apalagi di situasi krismon begini. Kehilangan pekerjaan di kala harga-harga kebutuhan pokok meroket, amat sangat tidak dianjurkan bagi jantung Anda dan seluruh konstalasi kehidupan Anda. Meskipun banyak orang telah mengalami PHK yang mengagetkan sejak tahun 1997 hingga sekarang—setahun kemudian—tetapi aku berharap itu tidak akan pernah terjadi di SJM. Aku curiga Bang Birham sengaja mempermainkan psikologi kami di situasi sulit ini. Karena kami berbeda dengan perusahaan yang mengalami penurunan penjualan saat terjadi krisis moneter sejak tahun lalu. Sejatinya makin banyak kerusuhan dan kekacauan di kota ini, makin naik oplah SJM. Terlihat keji, tetapi itulah kenyataannya.

           Suamiku, Frank memang punya usaha taman rekreasi milik keluarga yang sekarang dia kelola. Taman rekreasi beroperasi terus dan selamat dari serangan amukan massa karena Frank cepat-cepat memerintah Bang Udin, pekerjanya untuk memampangkan tulisan ‘pribumi’ besar-besar di depan gerbang taman. Namun, di zaman serba mencekik ini siapa yang lebih memilih membayar masuk ke taman rekreasi, naik bianglala, dan makan gula kapas daripada membeli beras? Pengunjung Taman Rekreasi Bintang Kejora lebih memilih membeli beras tentu saja. Hanya orang-orang pacaran atau selingkuh saja yang masih gagah perkasa menghabiskan uang naik kuda palsu yang genit di komidi putar atau menguji kekuatan jantung pasangannya di roller coaster. Atau seorang ayah pengangguran yang telinganya sakit akibat rengekan anaknya untuk tetap melakukan weekend di taman rekreasi. Tak ingin dia lepas dari kebiasaan keluarga sebelum krisis keuangan melanda Asia. Cinta memang luar biasa. Mampu membuatmu melupakan kebutuhan primer demi memenuhi kebutuhan tersier orang yang dicintai.

Meskipun masih ada pengunjung, tetapi pemasukan taman rekerasi berkurang jauh, hilang sekitar 70 persen—kemarin Frank baru mengatakannya. Bejo, panggilan singkat orang-orang untuk Taman Rekreasi Bintang Kejora, hampir tamat riwayatnya. Maka, aku harus mempertahankan pekerjaanku ini untuk jaga-jaga jika usaha Frank benar-benar harus tutup.

           “If, belom selesai?” Bang Jaya, salah seorang layouter kami menyapaku. Sudah berbalut jaket saja orang ini. Pasti jadwalnya ganti shift dengan Harianja.

           “Bang! Jangan pulang dulu. Aku sendirian nanti.” Aku merengek karena situasi masih kurang aman dan sewaktu-waktu kerusuhan bisa kembali pecah.

Aku berharap bisa pulang menumpang motor Bang Jay karena rumah kami searah. Meskipun aku berdarah Minang-Mandailing, tetapi mataku sipit dan berkulit putih seperti orang Cina. Bisa berbahaya. Malam ini aku meminta Frank untuk tidak perlu menjemput dan istirahat di rumah saja, karena tadi pagi dia merasa agak pusing.

           “Siapa yang mau pulang? Kita semua diminta tidur di sini sama Bang Birham. Medan rusuh lagi. Terpicu kejadian di Jakarta.”

           “Serius, Bang?”

           “Masa aku main-main, sih.”

           “Aku mau telepon Frank. Memangnya aku dibolehin nggak pulang?”

           Bang Jaya memberikan senyum yang bermakna dia sangat memahami maksudku. Aku sudah menyentuh gagang telepon saat Dedi, wartawan muda yang masih enam bulan bekerja di sini masuk ke ruangan. Wajahnya pucat. Dia tampak sangat ketakutan.

           “Kenapa, Ded?” Bang Jaya memekik lantas bergegas mendatangi Dedi yang langsung terduduk lemas di kursinya.

           “Hampir mati aku, Bang. Gimana, Bang? Nggak aman aku ini, Bang. Mati aku. Bakalan mati aku.”

           “Ada apa?” Bang Birham keluar dari ruangannya.

           Aku terdiam di kursiku. Bukannya tidak empati pada Dedi. Kalau boleh jujur, perasaan tidak enakku bukan karena kejadian apa pun yang membuat dirinya hampir mati. Melainkan, aku takut Frank marah karena terlambat menelepon. Sudah jam 10 malam dan aku belum di rumah. Aku harus menelepon.

           “Ini, Bang.” Dedi menyerahkan rol film kepada Bang Birham. “Kamera terpaksa kubuang. Karena kalau enggak aku dikejar terus, Bang sama aparat. Semoga masih bisa diselamatkan gambar-gambarnya.”

           Aku melihat Bang Birham menarik napas. “Matikan semua lampu. Bagian cetak suruh berhenti. Pokoknya semua berhenti dulu. Kumpul semua di aula, sampai aku menemukan cara untuk kita bisa keluar dari sini.”

Lihat selengkapnya