KELESAH

Yunita R Saragi
Chapter #3

-3A-

Semua akses keluar ternyata dikunci. Sutopo, sekuriti SJM benar-benar tidak mau membukakannya untukku. Dia bersikeras untuk tunduk menjalankan perintah dan mengabaikanku yang menangis seperti anak kecil di lantai. Padahal aku sudah menawarkannya uang.

Lelah memaksa, aku duduk bersandar di dinding dekat pintu kayu yang sungguh besar. Saking besarnya bisa untuk keluar masuk dua raksasa sekaligus. Gedung SJM merupakan gedung bekas kantor perkebunan tembakau milik Belanda di abad ke-19. Namun, setinggi-tingginya orang Belanda tak juga harus membuat pintu sebesar ini—pikirku. Aku juga heran mengapa pintu dan jendela-jendela gedung peninggalan Belanda ukurannya besar-besar semua. Benar, tiba-tiba aku menjadi pemerhati pintu zaman Belanda.

           Sutopo tidak lagi berada di sekitar situ. Dia tahu aku tak mungkin mampu mendobrak pintu ini. Lama-lama terduduk di sana, aku baru menyadari bahwa suara kendaraan tak seramai biasanya. Persis di depan kantor hanya ada jarak selebar trotoar sebelum jalan raya kota yang biasanya padat. Perilaku berlalu lintas orang Medan yang tak sabaran memperparah situasi padatnya lalu lintas. Suara klakson diumbar tanpa memikirkan batas kesopanan. Namun saat ini suasananya jauh lebih sepi. Kendaraan hanya sesekali lewat. Walaupun sudah jam setengah sebelas malam, tetapi jalan ini biasanya tetap ramai. Benarkah Medan semencekam itu?

           Suara sirine mobil polisi terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Suara yang mengingatkanku pada kejadian saat pertama kali aku bertemu dengan Franky Hadinata—suamiku tercinta. Aku dan Frank yang belum saling mengenal ada di dalam mobil Margie saat gadis mabuk itu menyupir ugal-ugalan di jalan raya kota Medan jam tiga dini hari. Kami dikejar polisi. Sudahlah berkendara melebihi batas kecepatan, Margie juga hampir menyerempet mobil polisi itu. Bukankah justru aneh kalau polisi tidak mengejar kami? Maka pikirku wajar jika polisi bertindak benar. Hal ini yang membuatku pasrah dan tidak bergerak saat itu. Kaku ketakutan di jok belakang. Kemudian Frank meraih tanganku.

“Kau takut?” tanyanya dan menyeretku untuk duduk mendekat padanya. “Sini.”

Mobil kami sedikit oleng saat tiba-tiba Margie bertukar posisi dengan Adrik, (pacarnya?). Entahlah, entah siapa Adrik itu. Dibilang pacar tidak terlalu pacar, karena Margie punya pacar betulan di New York. Tetapi mereka berciuman usai lolos dari kejaran polisi. Intinya saat kejadian pergantian sopir yang seperti sirkus itu sedang berlangsung, aku teriak. Frank memelukku. Semuanya berlangsung cepat, sehingga aku tidak bisa menolak pelukan dari orang asing. Aku tak memungkiri bahwa aku merasa nyaman berada di dadanya.

Omong-omong, mengapa aku bisa begitu akrab dengan Margie ketika kami beranjak dewasa? Padahal sebelumnya Margie itu sejak kecil sangat kesal dengan keberadaanku di keluarga mereka. Dia pura-pura tidak mengenalku di sekolah. Margie meminta Pak Min untuk berhenti beberapa meter dari sekolah, aku dimintanya turun, dan berjalan kaki sendirian hingga ke gerbang. Supaya Margie tidak pernah terlihat bersamaku. Pulangnya juga begitu, aku diminta menunggu di tempat aku diturunkan pagi harinya. Biasanya, sih aku pulang sendirian naik angkutan kota karena jadwal yang berbeda dengan Margie. Aku ikut ekskul gratis yang disediakan sekolah. Sementara Margie pergi ke berbagai tempat les terbaik di kota Medan. Mami Lis sebenarnya mendaftarkan aku pada tempat-tempat les Margie. Namun aku menolak dan memilih untuk ikut kegiatan ekskul di sekolah saja. Aku kasihan kepada Margie. Dia tentu tertekan batin jika aku terus-menerus menempel pada hidupnya seperti benalu. Aku takut dia makin kurus kering. Margie memang setidaknyaman itu denganku.

Jika dia berubah di masa depan, aku pikir mungkin sesimpel karena pada waktu itu bukan dia yang membenciku. Melainkan hormon remajanya yang membenciku. Setelah beranjak dewasa pola pikir remaja Margie—terkhusus—sudah mulai berkembang dengan baik. Kalau untuk cara berpikirku, sih sepertinya sudah dewasa dengan sendirinya sejak Papa menitipkanku di rumah mereka. Jadi tidak ada yang berubah banyak dalam fase kehidupanku mulai dari sana. Aku tetap bisa memandang segala tingkah lagu Margie dengan bijak. Sikap toleran dan adaptifku sepertinya terasah dengan baik. Papa David pasti bangga.

Kalau diingat-ingat kapan perubahan itu terjadi pada awalnya, mungkin ketika aku pindah rumah. Begitu KTP selesai diurus, aku mengajukan permohonan kepada Mami Lis untuk hidup mandiri. Papa David memberitahu bahwa uang yang dia kirimkan ke Mami Lis untuk tabungan masa depan sudah cukup untuk kuliah dan membeli rumah sendiri.

“Ya, udah kalo itu maumu, If. Kamu udah besar. Udah bisa tentukan mana baik dan buruk. Hakmu juga untuk hidup mandiri. Supaya belajar mandiri juga, ya. Mami setuju sekali. Tapi Mami pikir nanti saja pindahnya saat kamu kuliah, ya. Sabarlah setahun ini dulu sampai kamu tamat SMA.”

Aku terdiam, menunduk. Aku sudah sangat tidak sabar bisa mengatur hidup dengan bebas di rumah sendiri. Soal kemandirian itu sudah makanan sehari-hariku, kan? Namun, aku tidak pernah bisa mendebat orang lain. Apalagi itu Mami Lis. Dia terlalu berwibawa dan auranya kuat sekali. Mami Lis cocok jadi ratu atau setidaknya panglima perang wanita yang jago memainkan pedang di atas kuda, pikirku selalu.

“Gini, gini,” lanjut Mami Lis menggunakan kata-kata yang selalu diucapkannya untuk menenangkanku, “kita udah bisa cari rumah mulai dari sekarang. Cari rumah yang cocok itu nggak gampang. Nanti Mami temani kamu cari rumah yang pas untuk kamu, ya. Tapi, Mami mohon pindahnya pas kamu udah kuliah aja, ya.”

Lihat selengkapnya