Akhir bulan Mei 1995, beberapa hari menjelang ulang tahunnya, Margie ‘pulang kampung’. Dia baru diwisuda dan sedang dalam masa istirahat sebelum lanjut bekerja di New York. Dia hanya satu hari menginap di istana keluarganya dan sisanya menginap di rumahku—hampir dua bulan lebih. Katanya jika tidak ada ‘siput tak berlendir’ berarti doesn’t feel like home.
“Terima kasih pujiannya, Nyonya,” kataku ketika mendengar alasannya tinggal di rumahku.
“Shut up!” Margie marah pakai bahasa orang New York.
Seperti orang balas dendam, tiap hari Margie pergi ke diskotik bersama teman-teman lamanya di SMA dan selalu pulang pagi. Dia tak pernah diizinkan melakukan itu saat SMA. Meskipun Mami Lis dan Papi Tri jarang di rumah, tapi kan ada Tante Dal. Kekuasaannya sama dengan pemilik rumah. Bahkan selevel lebih tinggi, karena Mami Lis juga dalam mode pengaturannya jika sedang berada di rumah. Semisal soal lauk atau kebersihan. Saat kuliah di New York juga Margie tentu tak bisa terlalu bebas. Mami Lis ada di sana mengawasi sambil menjalankan bisnisnya. Ha-ha-ha. Geli aku mengenang hal itu.
“Lebih mudah mengelabui Tante Dal daripada Mami,” katanya.
“Mungkin karena kau belum ketemu caranya aja.”
“Nggak akan bisa, If! Aku baru sadar, itu yang buat dia sukses dalam bisnis rupanya. Nggak bisa kena tipu.”
Margie merasa hidupnya sial. Kok bisa, sih ada orang terlahir kaya raya seratus turunan dan memiliki orang tua lengkap penuh kasih sayang berkata hidupnya sial? Lucu!
Di tanggal 12 Juni, tiba-tiba Margie sudah bangun jam setengah 8 pagi. Tidak biasanya. Aku sebenarnya tak tahu persisnya dia bangun jam berapa selama tinggal di sini. Yang pasti saat aku sudah ke kantor, baru dia bangun untuk memulai kehidupan malamnya lagi dan lagi. Dengan pandangan heran, aku menatapnya dari meja makan. Kala itu, aku sedang meminum teh dan makan nasi telur dadar pakai kecap dan kerupuk.
“Makanan apa itu?”
Aku tak menjawab karena tahu itu hanya ejekan. Aku terus membaca majalah Intisari, langgananku sementara mulutku sibuk mengunyah. Karena terbiasa sendiri, aku selalu membaca buku saat melakukan apa pun—jika memungkinkan—untuk membuat otakku menjadi ramai.
“Happy birthday, Gie. Tambah tua, tambah cantik, ya.” Tak lupa aku memberikan ucapan selamat.
“Oh, tentu saja! Thank you, If,” jawabnya santai sambil menarik salah satu kursi meja makan dan duduk.