Akhirnya Bang Birham mengizinkanku pulang setelah gagal membujuk Frank. Cara keluarku dari kantor SJM mirip di film-film. Dari balik pintu raksasa yang sama sekali tidak dibuka sejak kedatangan Frank 15 menit yang lalu, Bang Birham meminta Frank untuk membawa mobilnya dan menunggu di gedung bank yang ada di Jalan Pemuda—sekitar lima ratus meter arah selatan gedung SJM. Karena aku akan keluar dari pintu belakang SJM yang juga berada di bagian selatan. Menyelinap dari belakang gedung-gedung, aku akan sampai ke tempat di mana Frank menunggu. Bang Sutopo mengantarku. Pasti dia keberatan, karena sepanjang jalan dia melampiaskan kekesalannya dengan menghardikku.
“Cepat, cepat!” Mungkin di sepanjang lima ratus meter ini dia mengucapkan itu dalam lima ratus kali pula dengan nada marah.
Atau di sela-sela kata ‘cepat’, sesekali dia mengomentari tabiat Frank, ‘Sedeng[1] suamimu itu, ya If’, ‘Gilanya nggak ilang-ilang’, dan ‘kok, bisa tahan sama suami kayak gitu?’.
Bang Topo memiliki logat Jawa yang kental. Meskipun sudah beberapa generasi keluarganya lahir dan besar di Medan, tetapi logat itu tidak hilang. Medan kota multietnis. Menurut sejarah, suku tempatan kota ini memang Melayu Deli. Orang-orang dari Jawa secara besar-besaran datang ke Medan di sekitar abad ke-19 untuk bekerja di perkebunan tembakau milik Belanda. Sejak saat itu hingga sekarang, luar biasanya suku Jawa selalu menempati posisi pertama sebagai penduduk terbanyak di kota Medan.