Perjalanan ke rumah menjadi sangat jauh. Banyak jalan yang ditutup karena kerusuhan. Beberapa diblokade untuk mempersempit wilayah melebarnya aksi penjarahan toko-toko di kota Medan. Frank belum berkata sepatah pun. Di mobil hanya ada suara napas kami berdua yang bergantian turun-naik.
Aku ingin mengisi kepala dengan apa saja selain hal-hal buruk yang mungkin terjadi padaku beberapa saat nanti. Menurutku, itu tidak usah dipikirkan. Dijalani saja. Saat kami melewati toko tas yang pintunya sudah rusak dan sekarang hanya ditutupi kayu-kayu dipaku seadanya akibat penjarahan beberapa hari lalu, pikiranku diisi sesuatu.
Waktu itu aku masih kelas tiga SMP. Hari Sabtu, aku ingat sekali karena aku sedang bersiap untuk ikut ekskul Pramuka yang jadwalnya memang hari Sabtu sepulang sekolah. Waktu keluar kelas, aku melihat Pak Min ada di meja piket sedang berbicara dengan guruku. Karena itu pemandangan tak biasa, aku berlari untuk segera tahu apa yang terjadi. Rupanya Pak Min meminta izin agar aku tidak ikut latihan Pramuka hari itu. Mami Lis yang memerintahkan Pak Min untuk menjemput kami.
“Margie udah ada di mobil,” kabar Pak Min. “Kami tunggu di simpang sekolah, ya.”
“Ada apa rupanya, Pak?”
“Nanti juga kamu tahu.”
“Nggak ada apa-apa, kan Pak?”
Wajah takutku mungkin membuat Pak Min menjawab, “Nggak ada. Pasti kamu nanti senang.”
Aku mengangguk lega. Bukan kabar buruk.
Rupanya Pak Min membawa kami ke toko tas yang baru aku dan Frank lewati ini. Toko yang mungkin pemiliknya sudah mengungsi entah ke mana, karena barang dagangannya habis dijarah. Mereka pergi membawa rasa takut dan trauma. Terbayang di mataku istri pemilik toko yang cantik dan ramah. Suaranya rendah. Orangnya mungil dan pipinya merah. Dengan sabar dia memilihkan koper untukku dan Margie. Untukku mungkin tidak diperlukan rasa sabar, untuk Margie maksudnya. Sesabar itu jugakah dia menghadapi peristiwa ini? Oh, aku tidak ingin memikirkannya sekarang. Tidak.
Margie dan aku belum punya koper besar untuk bepergian jauh dengan durasi agak lama. Mami Lis dan Papi Tri tiba-tiba punya waktu untuk liburan ke Jogja. Bagi kami liburan itu kejutan—bukan kejutan yang dibuat secara sengaja. Perjalanan ke mana pun bisa saja tiba-tiba terjadi saat Mami Lis dan Papi Tri saling bertelepon dan punya waktu kosong yang sama. Kami terbiasa untuk liburan bukan di hari liburan sekolah. Orang-orang Papi Tri dengan mudah bisa meminta dispensasi dari sekolah. Berangkatnya sore itu juga, naik pesawat Garuda ke Jakarta dulu. Sangat menyenangkan karena sudah lama tidak liburan beramai-ramai seperti ini. Apalagi kedua-duanya hadir—Mami Lis dan Papi Tri sekaligus. Peristiwa langka.
Jika ada Papi Tri suasana jadi ceria. Papi Tri suka menggoda istrinya. Bagi anak-anak, saat Papi Tri berbuat usil kepada Mami Lis adalah hiburan yang sangat menyenangkan melebihi liburan itu sendiri. Bayangkan, kebahagiaan apa lagi yang kami harapkan saat berhasil melihat Mami Lis yang higienis menjerit-jerit dikejar-kejar Papi Tri dengan upil yang siap dioleskan ke Mami Lis? Hilang sudah wibawa Mami Lis. Tidak ada yang berani ngerjain seorang ratu selain seorang raja. Jadi, ini juga peristiwa langka.
Pasca membeli koper dan dengan cepat menyusun pakaian, kami terbang dengan pesawat Garuda. Kami berenam, empat anak Mami Lis, Tante Dal, dan aku. Mami Lis dan Papi Tri sudah menunggu di Jakarta. Menyenangkan sekali waktu itu, tetapi ada satu kejadian traumatik dan itu membekas hingga sekarang.