KELESAH

Yunita R Saragi
Chapter #9

-4C-

Aku pernah bertanya kepada Papa David waktu dia mengunjungiku di rumah Mami Lis. “Pa, kenapa namaku hanya If?”

           Sudah lama aku menanti kedatangannya khusus untuk menanyakan itu. Aku ingin tahu jawabannya karena tiba-tiba merasa makin terganggu. Setiap orang yang baru menemukan fakta bahwa nama panjang If tidak ada, mereka umumnya penasaran. Mereka ingin tahu sejarahnya mengapa orang tuaku terlalu malas memberikanku nama. Apalagi jika dibandingkan dengan sepupu-sepupuku yang namanya panjang, sepanjang rel kereta api.

           Papa David terdiam cukup lama. Pada waktu itu aku yakin bahwa jeda yang lama itu dia gunakan untuk mengarang alasan demi menutupi kesalahan mereka telah malas-malasan mengarang nama anak sendiri. Namun di masa depan setelah mampu merenungkan makna penjelasan Papa tentang namaku, aku paham. Pertanyaanku waktu itu membuka luka lama di hati Papa karena dia harus kembali mengingat Lativah.

           “Aku dan Lativah punya kesamaan. Kami orangnya simpel. Dulu kami berpikir sepanjang apa pun nama kita, pada akhirnya orang-orang akan lebih nyaman memanggil kita menggunakan satu suku kata. Kami dulu ingin memberikanmu nama Ifana Larasati. Dari semua suku kata di nama itu, kami paling suka dengan If. Ya, sudah If saja. Lagipula, If dalam bahasa Inggris artinya jika. If itu bisa dipanjangkan sesuai dengan imajinasi kita. Untukku kepanjangan namamu itu … aku punya sendiri. If we could be together. Jika kita bisa bersama.”

           Aku melengos. Itu memang kalimat pengandaian. Tidak mungkin terjadi. Dan tidak mungkin aku mau diajak Papa. Dia sudah menikah lagi dengan seorang wanita yang tampaknya sangat membenciku di Kalimantan.

           “Gimana denganmu, If? Kau punya nama kepanjangan untuk dirimu sendiri. If apa? Jika apa?”

           Jika aku tak pernah dilahirkan.

           “Nggak ada,” jawabku sambil menggeleng, “bagi If cukup If saja.”

Kepada Frank begitulah aku menceritakan kisah itu saat dia menanyakan nama lengkapku. Frank jadi tahu di mana rumahku ketika pada akhirnya Adrik membawa mobil Margie sampai di rumahku Subuh itu. Mereka pulang naik taksi. Saat aku kembali dari kantor di sore harinya, Frank duduk menunggu di depan pagar. Aku ajak dia masuk dan kubuatkan teh.

“Aku, aku punya nama panjang untukmu, If,” kata Frank dengan mata berbinar. “Jika saja aku menjadi pacarmu, aku pasti jadi orang yang paling bahagia di muka bumi ini.”

Aku terdiam. Sungguh ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa Frank mengatakan itu?

“Frank, namaku panjang ‘kali itu!” Aku tertawa untuk mengusir rasa gugup. Dia hanya bercanda, kan?

Frank memajukan tubuhnya dan menyentuh tanganku yang aku tumpukan di atas lutut.

“If, aku serius. Aku menginginkan kau jadi pacarku.”

Aku menarik napas. Jikapun ini bisa dikatakan bagian dari kisah cinta, mengapa begini? Aku pernah punya pacar. Saat SMA. Namanya Boy. Kami saling suka karena sebelumnya terjadi proses kebersamaan yang cukup lama terlebih dahulu. Kami selalu bertemu di perpustakaan sekolah. Lalu di hari-hari berikutnya, kami memperebutkan buku yang sama. Sebuah novel terjemahan yang tinggal satu-satunya di perpustakaan. Akhirnya kami memutuskan berdamai dengan membaca buku itu bareng. Rupanya membaca bersama orang lain itu menyenangkan. Jika ada adegan lucu bisa tertawa bersama. Jika ada hal aneh dan harus ditebak-tebak bisa langsung dibahas saat itu juga. Lebih seru daripada membaca sendirian. Sejak itu Boy dan aku jadi dekat. Setiap di perpustakaan kami membaca buku bersama-sama. Kami pacaran selama setahun dan putus karena pacar Boy yang asli melabrakku. Astaga, rupanya aku selingkuhan Boy. Lumayanlah, setidaknya ada puluhan buku yang kami telah lahap dengan semangat keseruan kebersamaan. Aku tidak mengalami broken heart parah. Aku hanya kehilangan teman membaca.

“Kenapa?” tanya Frank karena melihatku diam saja.

“Kita baru ketemu tadi malam, Frank.”

“Cinta pada pandangan pertama. Kau nggak percaya itu?”

Aku menggeleng, “Bukan nggak percaya cinta pada pandangan pertama. Hanya, tidak terbiasa.”

“Jadi bagaimana?” Frank mendesak.

“Apanya?”

“Kau mau menerimaku, jadi pacarmu?”

“Aku tanya dulu satu hal boleh?”

Frank mengangguk. Ketika melakukan itu dia terlihat bijaksana dan ketampanannya melonjak. Duh, apakah aku langsung saja mengatakan ‘iya’ sekarang?

“Kenapa laki-laki kayak kamu, bisa suka dengan perempuan kayak aku?”

“Laki-laki kayak aku? Perempuan kayak kamu? Emangnya kita kayak apa? Bisa dijelaskan apa maksudnya itu?”

Aku bingung sendiri ketika Frank balik bertanya. “Mmm …. Maksudnya kalian itu anak gaul, sementara aku kan nerd, kutu buku, nggak gaul.”

Frank tertawa dan tiba-tiba saja mengusap kepalaku. “If, If! Kau itu.”

Aku melongo, membeku seketika. “Bisa kau ulangi itu, Frank?”

“Apanya?” tanya Frank heran. “Meminta kau jadi pacarku?”

Aku menggeleng. “Mengusap kepalaku.”

Mata Frank berbinar. “Kau suka ini?” katanya sambil mengacak-acak rambutku. Aku ingin menangis karena ini perasaan yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Aku merasa disayang. Aku merasa benar-benar dicintai dengan tulus.

“If, aku janji akan terus melakukannya jika kau mau jadi pacarku.”

“Frank, kenapa kau mau aku jadi pacarmu?”

“Nggak tau. Nggak ada penjelasan yang masuk akal untuk jatuh cinta.”

Aku pikir Margie tersedak kacang saat matanya melotot. Menjelang Magrib itu, dia baru bangun tidur persis ketika Frank baru saja pulang.

“Gie, kau kenapa? Keselek? Aku ambilkan minum, sebentar!”

“Bodoh! Dasar siput tanpa lendir! Aku kaget. Aku nggak keselek.”

Aku balik dan menggaruk kepala, menyesal karena salah menduga ekspresi Margie sedetik setelah kuceritakan kalau Frank baru saja mengatakan cinta.

“Aku kecepetan nggak, sih bilang iya?”

“Iyalah kecepetan! Kita nggak tau siapa Frank itu.”

“Kau nggak kenal dia?”

“Enggak. Dia teman Adrik. Tapi, udahlah. Nampaknya kau senang. Jalani aja.”

Benar, ‘jalani aja’. Frank dan aku menjalani kisah bahagia kami mulai dari hari itu. Setiap hari Frank berkunjung. Bahkan jika tidak ada aku di rumah. Dia sudah menduplikasi kunci, membereskan rumah, membetulkan atap bocor, membetulkan semua yang rusak di rumah. Dia juga selalu menjemputku dari kantor dengan sepeda motor merahnya yang besar. Dia memasakkan makan malam. Terkadang kalau dia sedang malas, dia membelikan makanan. Rasanya senang jika ada seseorang yang keseluruhan waktunya didedikasikan untukmu. Itulah Frank kepadaku.

Lihat selengkapnya