Ketika termenung cukup lama di depan cermin, aroma telur dadar tiba-tiba menghilang. Dengan memudarnya aroma telur dadar, aku baru menyadari bahwa kami tidak punya tetangga. Pondok ini satu-satunya di sini. Mungkin, aroma itu hanya halusinasi karena aku sangat lapar.
Aku menggeser tubuhku ke dinding untuk bersandar. Celana jeansku penuh darah. Terasa basah dan lengket meresap ke kulit paha. Bau amisnya membuatku mual. Aku memijit pergelangan kaki kananku. Aku lupa di mana meletakkan sepatu dokmarku[1]. Kakiku hanya dibalut kaus kaki yang sudah sangat kotor dan agak basah. Sepertinya mata kakiku membengkak. Sebenarnya apa yang terjadi? Ada banyak darah dan lumpur di sekelilingku.
“Fraaank, kau di mana? Kapan balik ke sini?” Aku menangis.
Perlahan, aku mengusap air mataku. Tidak bisa terlalu keras karena mataku sakit. Seperti aku lihat di cermin tadi, sekelilingnya telah membengkak kebiruan. Frank meninjuku. Iya, aku ingat. Karena dia terlalu kesal. Karena dia terlalu sayang. Frank mengajakku ke pondok dan menjadi sangat kesal saat aku menolak berpakaian.
Bibirku pun membengkak dan pipi membiru, karena dia menamparku. Lalu dia menangis, berlutut meminta agar aku tidak meninggalkannya. Aku berdiri pada saat Frank memeluk kakiku. Berdiri dengan tegak—walaupun pangkal paha berdenyut-denyut. Lalu siapa yang memelintir pergelangan kaki kanan ini hingga aku susah berdiri sekarang?