Luna masih tercenung di bibir pantai, angin malam yang dingin menampar-nampar wajah bulatnya. Meski kaus oversized yang ia pakai terlalu tipis untuk menghalau hawa dingin yang menusuk, tapi ia cukup puas karena tidak lupa memakai bucket hat warna hijau army kesayanganya. Topi itu selalu jadi andalan Luna agar rambutnya tidak menjadi lebih liar. Gadis itu menatap bulatan indah di langit yang bersinar seperti bola matanya. Bulan itu tampak kesepian, persis seperti dirinya.
“Kalau Luna ikut Uba, Uma pasti ikut juga, Langit juga. Jadi, Luna ikut Uba, ya? Jangan tinggalin Uba.” Bayangan wajah Uba yang penuh air mata kembali menusuk ingatan.
“Kamu harus kuat, harus bisa mandiri karena kamu anak pertama!” Kali ini muncul wajah Om Hakim, kakak tertua Uma.
“Luna, yang ke mana-mana pake kaos dan jeans bolong? Yang rambutnya awut-awutan kayak singa? Dia itu cewek bukan, sih!” Wajah Sela muncul lengkap dengan pandangan sinisnya.
“Dih, ngapain main sama Luna? Dia kan dekil, bau, jelek. Males ah!” Disusul wajah Lisa. Lalu mereka berdua tertawa mengejek.