“Shera Luna, artinya cahaya bulan.”
Andai Luna bisa mengingat Uba mengucapkan kalimat itu. Sayangnya, itu hanya cerita yang selalu Uma ulang ketika ada yang menanyakan namanya. Setelah itu mata mereka akan menatap Luna dengan sorot mata ganjil, seakan berkata ‘di mana bulan-nya?’ Setelah itu, Luna hanya bisa menggigit bibirnya keras-keras. Memindahkan nyeri di ulu hatinya. Aku memang tidak cantik seperti bulan.
***
“Luna, coba sini, pakai rok ini. Kamu pasti cantik, deh!” Uma memang sering menyelonong masuk ke kamar Luna dan membawakan berbagai macam pakaian untuk perempuan. Namun, Luna tidak suka. Rok membuatnya tidak bisa bebas berlari dan memanjat pohon. Renda, selalu membuatkan gatal dan geli. Luna meringis seraya melihat tumpukan pakaian yang diletakkan Uma di atas tempat tidurnya.
“Kamu itu anak perempuan. Harus tampil cantik.” Uma menjalin rambut Luna yang kusut masai dan mengembang seperti rambut singa. Menyisirnya dengan hati-hati, membuat kepang-kepang kecil yang cantik. Rambut kering keriting ini sudah pasti didapatkan Luna dari Uba, karena rambut lelaki itu juga sama hebohnya. Sementara rambut Uma lurus halus seperti beludru, persis rambut Langit, adiknya. Kadang Luna berharap ia dan Langit bisa bertukar rambut.
“Rambut itu kan mahkota perempuan, mahkota, lhoh! Bukan sarang tawon! Hihihi!” Suara Sela selalu sukses membuat Luna kesal.
“Anak perempuan, kok, gak pernah sisiran, sih? Itu rambut apa sabut kelapa?” Lisa juga selalu menimpali.
Luna benci Sela, Lisa, dan teman perempuan lain yang semuanya memakai rok dan blus berenda. Mereka tidak hanya sinis, tapi juga berisik. Menambah panjang daftar ketidaksukaan Luna.
“Sela gak pernah main ke rumah lagi, Na?” Pertanyaan Uma nyaris membuat Luna melotot.
Emang pernah Sela main ke sini? Luna menelan tanya, menggantinya dengan helaan napas yang berat.
Uma bukan tidak tahu, tapi ia hanya ingin memancing reaksi putrinya itu. Sudah delapan tahun mereka pindah ke Jakarta, tapi ia tidak pernah melihat Luna berteman dengan remaja perempuan seusianya. Luna malah sering berkeliaran di ruko depan kompleks, di depan sebuah toko buku kecil. Tempat nongkrong beberapa remaja lelaki yang menurut teman-teman arisan Uma, bukan anak-anak yang baik.
“Makasih, Ma!” Luna mencium tangan ibunya.
“Ka-mu, mau ke depan lagi?”
“Iya, udah ditungguin sama anak-anak.” Luna mengikat ujung kaosnya yang kebesaran, kemudian menggulung celana jin robek-robek kesayangannya.
“Na, ....” Uma melihat Luna dengan sorot mata prihatin.
Putrinya kini sudah menginjak remaja, tapi gaya berpakaian yang diusung Luna, mulai membuat Uma khawatir. Namun, wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak adil rasanya jika ia harus mengatur semua pilihan Luna. Selama delapan tahun ini, Uma sadar, ia sudah memberi beban yang terlalu banyak pada putri sulungnya. Uma lalu teringat masa-masa sulit mereka.