Tatapannya riang menatap sisa kepingan masa kecil. Di balik sebuah foto lama yang terpajang di kamar, waktu seakan menyedot pikirannya jauh ke dalam ruang masa. Betapa indahnya masa kecil itu. Ia tak butuh teman yang banyak. Hanya senyuman kecil dari bocah ingusan dapat memberikannya hari yang tak berujung.
Tangan kecil itu menggapai ujung pundak Kelly. Terlukis selapis senyum di sela bibir tipis bocah di sampingnya. Senyumnya terang bagai membelokkan cahaya senja pada saat itu. Bermandikan keringat yang menyesap, baju kaos yang lusuh membungkus tubuh mungilnya. Ia berjinjit untuk menggapai ujung pundak kanan Kelly.
Senyum Kelly tampak lebar pada foto usang di dinding. Kadang ia tertawa saat tersadar betapa kumal dirinya dahulu, bahkan melebihi bocah laki-laki di sampingnya. Kulitnya lebih coklat daripada bocah itu. Kaki tak bisa disebut kaki lagi, kotor direngkuh oleh sensasi bermain lumpur kubangan yang terik.
Dentingan jarum jam membuatnya sadar, itu hanyalah secercah masa lalu yang tak akan pernah kembali lagi. Sekuat apapun ia berharap, sebesar apapun suaranya untuk merintih doa, masa itu tidak akan datang menghampiri.
Memang pedih menagih sebuah janji yang tak kunjung ditepati. Tak terhitung lagi berapa kali air mata yang tumpah oleh perpisahan yang menyakitkan. Ia kehilangan, hampa, dan sepi. Sahabat dengan senyum manis bermata sayu itu pergi hanya pamit dengan sebuah surat. Bukan surat yang ia inginkan, tetapi wajah dan pelukannyalah yang tak bisa ia tinggalkan.
Bocah itu pernah berjanji untuk mengetuk rumahnya lagi sembari memanggil nama Kelly. Memanggilnya dengan keras seperti di masa itu, berteriak kuat bagai tak ingin ketinggalan senja yang merangkak tenggelam. Tetap saja itu hanyalah janji anak kecil dan bahkan mungkin bahwa ia tak sadar bahwa itu adalah sebuah janji. Bocah itu tak pernah datang. Menghilang seperti ditelan bumi, tanpa kabar dan berita.
"Kamu bohong, Nathan," ucap Kelly kepada foto usang di dinding kamarnya.
***
Tak cukup waktu pagi ini untuk terus bernostalgia. Biarlah kenangan itu terkubur selamanya. Kelly menatap wajahnya sendiri di cermin. Betapa cantiknya wanita berhati sepi walaupun hanya selapis bedak yang melapisi. Ia mengerjapkan mata untuk memamerkan bulu mata yang melentik bagai gulungan ombak itu. Tampak cantik dan sempurna.
"Mama, Kelly pergi ke sekolah dulu." Kelly mencium paksa tangan Mama.
"Eh, tidak boleh ke sekolah kalau tidak sarapan. Kelly makan dahulu rotinya," ujar Mama sambil menahan tangan Kelly. Ia menunjuk menu sarapan di atas meja.
"Iya, Kelly makan, kok." Tangan Kelly meraih roti selai kacang yang sudah dipersiapkan oleh Mama. Susu di gelas hanya setengah ia minum. Kelly sudah tak sabar untuk menikmati hari pertamanya di SMA. Langkahnya terburu-buru saat melambai pada Mama. "Kelly pergi dulu ya, Ma."
"Kelly ...," panggil Mama.