Kelly Vannesa

JAI
Chapter #6

Lima

"Kau kutemukan tepat dengan lagu lama yg pernah ternyanyikan. Merdu, sukar diartikan, atau hanya sekedar tipuan?" -JAI

Lukisan memiliki ceritanya sendiri bagi diri Kelly. Mengandung kenangan yang acap kali terlintas di pikirannya. Bocah itu, bocah cengeng bertangan lihai yang selalu berharap punya kanvas lukis sebesar TV LCD di kamarnya. Harapannya baru bisa tercapai setelah bocah itu merengek seharian meminta dibelikan. Sungguh memalukan sekali dirinya. Hanya dirinya saja yang mengerti arti dari sebuah lukisan. Dirinya sanggup berlama-lama menyelami lautan imajinasi yang ia tuangkan dalam sebuah lukisan. Kanvas lukis yang ia lihat waktu itu kembali mengoyak memori lamanya: perpisahan.

Semenjak kejadian itu ia tak berani lagi melewati koridor ruangan seni. Ia tak ingin dicap sebagai penguntit, apalagi oleh orang yang tidak ia kenal. Sebenarnya Kelly hanya mendapat apes-nya saja. Alena sudah lebih dulu menguntitnya, tapi pria itu tidak sempat melihat wajah Alena.

"Alena, aku pulang dulu, ya," kata Kelly saat melambai dari atas sepeda.

Alena tampak tersenyum di parkiran mobil. Ia membalas lambaian tangan Kelly. "Iya, hati-hati ... jangan mengebut," teriak Alena lalu masuk ke dalam mobilnya.

Kelly tidak peduli dengan saran dari Alena untuk tidak mengebut. Tidak nikmat rasanya jika tidak bergelut dengan sepeda. Kedua kakinya kokoh mengayuh pedal sepeda. Kelly kadang melaju melebihi sepeda motor yang ada di jalanan.

Teringat olehnya kembali mengenai kenangan yang pernah menghampirinya dahulu. Mengenai suara dan tangan kecil yang pernah ia rasakan. Semakin kuat ia mengayuh, semakin jelas suara dalam imajinasinya terdengar. Senyum bocah kecil itu kembali terlihat.

Angin yang menerpa tak jauh berbeda rasanya dengan yang dahulu. Selalu sejuk saat angin menyentuh kulit Kelly. Namun, ada satu yang kurang dalam semua kebahagiaan itu, sahabat kecilnya yang menghilang dari kesejukan. Pergi tanpa meninggalkan senyum, hilang meninggalkan rindu, tak datang walaupun dirinya menunggu.

Anak itu dulu selalu menemani Kelly tatkala bersepeda di sore hari, mencari serangga senja yang acap kali bermain di ilalang dekat rumah. Mereka hanya perlu mengikuti cahaya mentari, kembali ke rumah ketika senja mulai meredup, lalu menyimpan tawanya untuk esok hari. Tawa dan senyum bocah itu selalu mengiringi.

Rumah sederhana itu masih berdiri dengan kokoh. Tiang-tiang kayu itu tak sedikit pun dilahap rayap. Hanya saja pekarangan luasnya sudah penuh akan daun kering yang jatuh. Maklum saja, pekarangannya tidak ada yang mengurus. Sebuah kursi dan meja bundar tempat orangtuanya berkopi ria juga tak bergeser dari tempatnya.

Mata Kelly lurus ke pintu rumah itu. Sudah luntur dan tak sebiru saat ia terakhir kali mengetuknya. Ia turun dari sepedanya lalu melangkah ke gerbang pagar yang tak terkunci. Pekarangannya benar-benar penuh dengan daun kering. Setiap langkah Kelly selalu terdengar gemeretak dauh-daun yang terinjak.

"Permisi ..." Kelly mengetuk pintu rumah Nathan. Ia benar-benar penasaran dengan pemilik baru rumah Nathan jika benar rumah itu telah terjual. "Permisi ... ada orang?" panggil Kelly lagi. Ia tak mendengar pemilik rumah menyahut, bahkan suara langkah kaki pun tidak ada.

Ia mengililingi rumah itu untuk melihat tanda-tanda kehidupan. Hanya suara angin dan gesekan daun pohon yang terdengar. Kadang suara berdecit dari ayunan di pohon turut menghiasi keheningan yang ada.

Lihat selengkapnya