"Kau kadang tak butuh air mata tuk melampiaskan, kau hanya butuh malam dengan sedikit bintang terang, lalu terlelap menyambut dinginya pagi." -JAI
Betapa indahnya kenangan masa lalu yang dapat ia kenang. Tawa, senyum, bahkan tangis yang pernah tercipta bukan tidak berarti apa-apa. Ada banyak hal yang ia dapatkan melalui hal itu. Panggilan dan teriakan namanya pada pukul empat sore menyiratkan sebuah janji yang akan ia kenang. Janji wanita itu untuk memanggilnya pada senja yang mulia.
Mata Nathan memperhatikan pekarangan rumahnya yang tampak kotor dan tidak terawat. Rumput-rumput liar tumbuh menyebar, menjalar hingga ke tangga kayu menuju ke teras rumah. Daun-daun kering pepohonan rambutan di sekitaran rumahnya turut andil dalam mengotori pekarangan. Butuh seharian penuh untuk membersihi semuanya.
Ia menghela nafas. Rumah ini benar-benar tidak terawat semenjak bertahun-tahun ditinggalkan. Kedua orang tuanya pun tidak ada inisiatif untuk sekedar membersihkannya, walaupun sebulan sekali. Mungkin saja rumah ini telah menjadi sarang makhluk-makhluk yang tidak ingin Nathan melihatnya.
Sapu lidi dan sabit lama masih tersimpan di dalam gudang. Tentu saja kondisinya tidak sesuai dengan harapan Nathan, setidaknya dapat digunakan untuk sementara. Sedikit demi sedikit pekarangan ia sapu dari daun-daun kering. Sementara rumput liar yang sudah selutut, ia potong menggunakan sabit.
Bunyi gemeretak ranting dan daun yang terbakar terdengar tatkala ia memantik api di pembuangan sampah. Asap mengepul sekaligus menjadi kepuasan tersendiri oleh Nathan. Matanya memicing dalam kepulan asap, tapi samar-samar ia menangkap sesuatu. Ia melihat bayang-bayang seseorang dari balik kepulan asap yang terbakar, memanggil namanya dengan keras. Sudah lama seseorang tidak memanggil namanya seperti itu, meneriakkan namanya dengan keras tatkala senja memaksa untuk bermain keluar.
Kamu terlambat, sekarang pukul setengah lima sore, ucap Nathan dalam hati.
"Nathan!" panggil Kelly dari kejauhan. Asap yang mengepul memudar hingga dapat melihat wajahnya dengan jelas. Langkah Nathan terasa berat oleh penat dan bulir-bulir keringat pada dahinya. Kaos tipisnya yang basah benar-benar membentuk tubuhnya yang atletis.
"Jangan dekat-dekat, aku bau kalau sudah berkeringat," pinta Nathan sambil menjauh dari Kelly yang berusaha mendekat.
Kelly menaikkan alisnya. Bibirnya setengah membentuk senyum.
"Kamu dulu bahkan lebih bau dari ini dan aku biasa saja," balas Kelly. Tangannya yang sedari tadi melipat, kini menyentuh dada Nathan.
Mata Nathan langsung fokus ke arah kantong plastik putih di keranjang sepedanya. "Apa yang ada di keranjangmu?"
"Tepat sekali aku bawa ini!" kata Kelly sambil mengguncang keranjang sepedanya. Dirinya menyimpul senyum dan langsung mengambil cola faforitnya yang baru saja di beli di swalayan.
Bau asap yang terbakar masih jelas tercium oleh Kelly. Ia berusaha senyaman mungkin di sebuah kursi kayu dan meja bundar di hadapan. Ia sentuh meja berdebu tipis itu, keadaannya masih sama seperti dulu tatkala mereka duduk berdua menikmati susu putih bersama. Lalu Kelly akan tertawa melihat susu menempel di bawah hidung Nathan.