Jam di dinding menunjukkan jam delapan malam. Dentingan jarum jam yang bergerak mengisi keheningan di dalam kamar. Kelly duduk di depan meja hias untuk merapikan rambut sebahunya. Waktu terus menjawab, sedangkan Alena tak kunjung datang menjemputnya untuk pergi ke pameran seni. Ia terus melihat layar handphone-nya untuk menunggu balasan pesan LINE dari Alena.
Semerbak harum parfum ETERNITY MOMENT menyeruak ke seluruh ruangan. Bulir-bulir kecil parfum terlihat berterbangan di sekitar tubuh. Aroma bunga yang lembut dan segar mulai mendominasi wangi kamarnya. Tak lagi berwangikan buah dari pengharum ruangan.
Sesak rasanya berlama-lama di kamar, apalagi sedang menunggu seseorang. Ia benci menunggu, apalagi untuk waktu yang lama. Hatinya telah sesak oleh rasa jenuh karena menunggu. Bukan Alena yang ia maksud, namun pria itu. Pria yang pernah membuat dirinya menunggu lama hingga larut tenggelam dalam kesepian.
Matanya tertuju ke foto lama yang terpajang lama di dinding kamarnya. Mungkin saja ia telah bosan untuk ditatap oleh mata yang sama. Tak pernah berganti wajah. Bisa saja ia rindu kehadiran bocah kecil yang ada dalam dirinya itu. Merindukan bagaimana wajah bocah yang telah menjadi dewasa setelah sekian lama tersenyum tanpa henti di dalam foto itu. Mata tetap saja teduh seperti biasa, seakan mengundang hujan mendung untuk datang.
Kelly menghela nafas. Ia lelah menunggunya. Tak ada alasan lagi untuk terus menunggu setelah kehadirannya yang tiba-tiba itu. Tanpa alasan menghilang dan tanpa berita untuk datang. Sekarang ia tak perlu mengelak lagi. Ia benar-benar jatuh cinta pada pria itu. Tatapannya yang lurus saat pertama kali bertemu setelah sekian lama berpisah memberikan benih-benih yang terus saja tumbuh menjadi cinta di dalam hatinya.
Hatinya semakin pedih saat wajah bocah di foto itu seakan berganti dengan bayang-bayang wajah Nathan sekarang. Ia kembali teringat dengan kecupan lembut Nathan pada Natasya. Hal yang telah membuat lembah yang memanjang di dalam hatinya, melemahkan hatinya yang telah rapuh, menghancurkan harapan yang selama ini ia gantung.
Layar handphone Kelly menyala. Warna hijau mendominasi layar handohone ketik bunyi nada dering LINE yang khas terdengar nyaring di telinga. Ia melihat isi pesan yang baru saja dikirim oleh Alena.
Kell, aku tidak bisa pergi malam ini. Papaku baru saja pulang dari bandung dan aku harus menjemputnya di bandara, Kelly membacanya dalam hati.
Ia mengernyit. Rencana malam ini bisa-bisa batal. Tidak ada yang menjemputnya. Padahal Kelly benar-benar ingin melihat pameran seni. Sudah lama ia tidak ke event tahunan itu. Beberapa saat kemudian, layar handphone-nya kembali menyala. Kelly dengan sigap meraih handphone-nya kembali. Ia menggesek pola kunci layar menggunakan jemarinya.
Jangan khawatir. Felix sudah kuhubungi buat menjemputmu. Dia memang aneh, tapi dia sepertinya asyik. Bye ....
Mata Kelly fokus ke nama Felix yang tertera di pesan dari Alena. Ia menghempaskan handphone-nya di atas meja hias. Beberapa alat kosmetiknya tampak terjatuh. Ia tak punya pilihan lain jika benar-benar ingin pergi ke sana.
Kelly melihat-lihat kontak LINE yang ia miliki. Barangkali ada teman yang bisa diajak agar ia tidak berdua saja dengan Felix. Ghea dan Rafael menjadi pilihannya. Namun, rasanya mereka tidak ingin pergi jika diajak. Ghea tidak tertarik dengan seni, sedangkan Rafael pasti saja sibuk di rumah sambil bermain game online faforitnya.
Jemarinya terhenti di nama Nathan. Ingin sekali rasanya mengajaknya untuk pergi bersama. Namun, tetap saja tidak baik rasanya jika pergi berdua dengan seseorang yang telah memiliki kekasih. Lagi pula, Nathan pasti lebih memilih pergi bersama Natasya daripada dirinya.
"Kell, ada orang yang datang. Dibuka pintunya sana," panggil Mama dari luar kamar.