Jika semua ini adalah kesalahan, mengapa aku tidak menyadarinya sedari dulu? Kelly tak sanggup mengangkat wajah. Rasanya terlalu berat oleh air matanya yang terus saja berlinang. Jika ia tahu akan berakhir seperti ini, ia akan membunuh perasaan itu dan membiarkan ia mati. Perasaan yang seakan membungkam dirinya berkali-kali.
Sang rembulan tidak iba melihat Kelly yang terisak pada terpaan cahayanya. Rembulan tidak peduli, ia terus saja memancarkan cahaya redup. Bergelimang sunyi dalam kesendiriannya. Ia berharap tetesan air mata itu dapat bersuara agar dapat mengusir sepi. Air mata yang ia benci tak sanggup ia bending. Pecah berlinang dan mengalir membentuk garis memanjang di pipinya.
Ia butuh teman bercerita untuk mencurahkan semua gundah yang ada. Jemarinya mengetik nama Alena pada layar handphone lalu menekan tombol berwarna hijau untuk memulai panggilan. Bunyi sambungan telepon berbunyi pada telinganya. Tidak lama kemudian Alena mengangkat panggilan darinya.
"Halo, Kell?" tanya Alena. Sebelah tangannya sedang memainkan tuts piano hingga membentuk melodi yang indah. Rasanya bosan bermalam mingguan tanpa Kelly di rumah. Sekarang ia hanya bisa menyendiri seorang diri di kamar.
"Alena, aku─"
Alena mendengar suara Kelly yang terisak. "Kamu sedang menangis, Kell?"
Tangan Kelly menghapus garis air mata. Hidungnya terasa tersumbat karena tangis yang pecah sedari tadi. "Iya, aku sedang menangis."