Betapa teduhnya mata itu. Bagaikan pohon rindang berguguran daun yang melukis bayang-bayang di tanah tak bertuan. Matahari tersulut benci karena cahayanya tak sampai menyentuh tanah dirindukan, masih tertahan oleh ranting-ranting berpucuk lancip. Pohon tak sendiri, awan bergelimang menaungi pucuk demi pucuk daun. Tersenyum riang menahan terik dari sengatan yang membara. Tak cukup waktunya untuk mendeskripsikan mata itu. Ia terlanjur larut dalam sorot matanya.
Sorot mata Kelly tidak sanggup mengelak, Nathan terus memaksa untuk masuk dalam tatapannya. Kelly tidak ingin melihatnya lagi, tetapi Nathan tetap saja memaksanya untuk memandanginya. Entah kekuatan apa yang dimiliki oleh pria itu hingga membuat Kelly mengikuti pria itu. Alena hanya membiarkannya saja. Ia sudah lelah melihat tingkah mereka berdua.
Bukankah itu salahnya? Menghancurkan semua hingga tidak lagi baik-baik saja. Semuanya menjadi canggung satu sama lain. Andai saja Nathan tidak mengatakan hal itu pada Felix, pasti saja kekhawatiran Kelly tidak akan terjadi.
Di sudut hati Kelly membatin bahwa dirinya turut andil dalam menciptakan suasana ini. Ungkapan perasaannya─yang seharusnya ia tahan─kepada Nathan, menjadi cikal bakal masalah yang terjadi. Kelly tidak bisa memaksakan rencananya akan berjalan mulus, perasaan pria itu berkata lain. Penolakan yang tidak ingin ia dengar.
Nathan menarik tangan Kelly dan membawanya ke jauh dari keramaian para murid. Ia ingin bertatap muka secara langsung dan mendengar kepastian dari Kelly. Kelly menolak dengan menahan dirinya untuk tidak mengikuti Nathan. Namun, Kelly tidak bisa. Kelly terlalu lemah untuk Nathan.