Kelly Vannesa

JAI
Chapter #39

Epilog

Percayakah kalian dengan cinta? Sebuah kata yang menjadi kekuatan seseorang, tapi di sisi lain menjadi kelemahan sekaligus. Membangun hati nan rapuh, tetapi bisa juga merapuhkan hati nan lemah. Cinta bukan hanya sekedar mengumbar kata-kata dan pergi begitu saja, melemahkan seseorang lewat kata-kata manis yang pernah diucapkan. Harapan, cinta, dan angan-angan, hancur terburai menjadi kepingan kenangan.

Benarkah apa yang dikatakan pria itu? mengumbar janji untuk kembali datang kepadanya. Kelly merasa janji itu hanyalah sekedar janji, tanpa ada realita yang mengikutinya. Tidak banyak yang dapat ia lakukan selain menunggu dan terus menunggu, sesuai tekadnya tatkala melihat Nathan untuk terakhir kali. Namun apalah daya, ia tetap wanita biasa. Punya hati yang berbatas. Hatinya bagai berlumut karena terlalu lama menunggu.

Bukan Nathan namanya jika ia tidak menghilang dalam waktu yang lama. Semenjak perpisahan mereka sewaktu kecil, hingga perpisahan pada masa SMA bertahun-tahun yang lalu, Ia bagai menghilang ditelan bumi, tak ada semilir angin pun membawa berita mengenai kabarnya. Seperti buronan besar yang menghilang keluar negeri dan mengganti identitas dengan yang baru. Tidak ada seorang pun yang tahu.

Semua hal telah ia lakukan untuk tetap menguhubunginya. Namun apalah daya, yang ia hadapi itu adalah Nathan. Pria kota yang jiwanya bagai hantu di malam yang gelap, menghilang dan sangat sulit ditemui. Semua surat yang ia kirimkan, semua pesan singkat yang ia kirimkan, tak ada satu pun yang sempat ia balas. Begitulah Kelly, rasanya telah bosan untuk terus menghubungi jika tak ada respon darinya.

Kelly berdiri di depan cermin untuk mengikat rambut sebahunya. Ia memajukan bibirnya yang tampak merah oleh lipstick yang ia beli dari online shop dua minggu yang lalu. Jemarinya membuka dua kancing atas kemeja, lalu tersenyum di depan cermin. Tampak sempurna untuk ditunjukkan pada semua orang di muka bumi ini. Cerah bersinar bagai mentari yang tengah bersinar manja di luar sana.

Setelah lulus dari jurusan sastra di salah satu universitas negeri di Jakarta, ia diterima bekerja sebagai editor di sebuah penerbit saat ia kembali ke Pekanbaru. Rasanya cocok untuknya yang memang menyenangi hal berbau buku-buku ketika bekerja di sebuah penerbit. Ia bisa membaca karya-karya hebat yang belum bisa dibaca oleh semua orang. Ia yang pertama kali membaca setiap baris-baris dalam karya tersebut.

Ia melintas melewati sebuah rumah yang sudah usang tak berpenghuni. Terlihat suram dan kotor. Atapnya saja sudah menguning karena panas, sedangkan cat biru rumahnya telah luntur menjadi warna dasar kayu. Pohon-pohon besar yang memenuhi pekarangannya bebas menggugurkan daunnya ke mana saja tanpa ada yang bisa membersihkan, memberikan pupuk alami untuk tanah tempat ia tumbuh. Kursi santai dan sebuah meja kayu di teras rumah juga tidak pernah bergeser sesenti pun. Tetap begitu sejak bertahun-tahun yang silam.

Sebegitu lamanya Nathan pergi, hingga rumahnya sendiri pun tidak pernah ia perhatikan. Lima tahun berselang semenjak perpisahan itu, begitu banyak yang ia lewatkan mengenai dunia masa lalunya, mengenai yang ia tinggalkan: Kelly. Kelly penasaran bagaimana wajah Nathan sekarang. Mungkin saja ia masih memiliki tatapan sayu itu, tidak peduli seberapa senang dirinya, tatapannya tetap saja lemah seperti biasanya.

Semuanya sudah berubah, termasuk kedua teman baiknya selama SMA. Felix─pria sipit keturunan Tionghoa itu─sudah membuka usaha kamera yang sudah ia idam-idamkan seperti dahulu. Meski orangtua angkatnya adalah orang Melayu, namun tekadnya mengikuti leluhurnya yang terkenal sebagai pedagang handal. Semenjak kuliah maupun bekerja, Kelly dan Felix memang jarang bertemu. Hanya sesekali jika Felix punya waktu. Pria itu begitu sibuk dengan usaha kameranya yang memiliki cabang di beberapa mall di Pekanbaru.

Sedangkan sahabat perempuan satu-satunya yang ia punya, sudah mempunyai hidup bahagia dengan belahan hatinya yang ia temui setahun yang lalu. Entah apa yang ada di pikiran Alena untuk menikah muda dengan seorang Pegawa Negeri Sipil di Kementrian Keuangan tersebut. Namun, Alena tegas dengan pendapatnya bahwa ia lebih bahagia dengan pasangan mapannya itu.

Menjadi seorang istri lebih baik daripada mengumbar kemesraan tanpa hubungan penikahan, itulah jawabnya sewaktu Felix bertanya di pernikahan mereka. Ah, ia bertambah dewasa saja.

Semua orang telah bahagia dengan ambisinya masing-masing, tapi Kelly masih berjalan di tempat menunggu seseorang yang tidak pasti kapan datangnya. Bodohnya Kelly menolak beberapa pria yang sempat mendekatinya. Ia tidak bisa, wajah itu terus saja terbayang-bayang. Seakan Nathan itu telah melukiskan wajahnya di hati, sulit untuk memudarkannya. Kelly kembali menatap realita yang sedang ia hadapi: tanpa belahan hati.

Ia mendaki anak tangga untuk mencapai ruangan kerja para editor Penerbit Media Remaja, penerbit yang memfokuskan buku-buku romance untuk pemasaran utamanya. Ada pemandangan baru yang tidak biasa ia lihat. Ada beberapa detail baru yang terpajang di sudut-sudut ruangan.

Seorang lelaki menghampirinnya. Ia tersenyum di balik kacamata petak ber-frame warna hitam.

"Bagaimana kantor kita? Bagus, kan?" tanya Pak Wibowo padanya. Pria tiga puluhan tahun itu menaikkan alisnya karena bangga.

Lihat selengkapnya