Kelompok Sagitarius

Topan We
Chapter #1

Sagitarius 1

Di balik tiang beton sekolah dasar satu lantai yang dicat berwarna krem, seorang lelaki berdiri sambil menggantungkan kunci ruang guru di jari telunjuknya.

Lukman Hadi, usianya empat puluh tahun, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang lebih tua dari riwayat desa itu sendiri. Tubuhnya tampak biasa, kurus berotot, dengan wajah yang kelewat ramah untuk seorang yang selalu datang paling pagi dan pulang paling malam. Rambutnya dipotong bersih, kemeja kotak-kotak selalu disetrika rapi, dan jaket coklat yang ia kenakan tampak seperti milik guru matematika generasi lama.

Anak-anak memanggilnya “Pak Lukman si guru favorit”, sebab ia sering membantu mereka menyelesaikan tugas-tugas sulit. Tidak ada satu pun dari mereka tahu bahwa pria itu bisa membongkar dan merakit kembali pistol Glock dalam waktu 2,8 detik hanya dengan satu tangan.

Dan pagi itu, seperti biasa, ia membuka gembok ruang guru dengan gerakan lambat, terukur, seolah ia sedang memberi ruang bagi dunia untuk mengikuti ritme napasnya.

“Pak, PR matematika saya… masih belum beres,” kata seorang murid laki-laki yang berdiri di depan pintu, rambutnya kusut.

Lukman tersenyum. Senyuman yang lembut, membuat anak itu merasa aman.

“Namamu siapa?”

“Rafli, Pak.”

“Bawa kemari bukunya. Sebelum jam masuk, kita kerjakan sama-sama.”

Rafli mengangguk, berlari kecil. Ia tidak tahu bahwa pria yang mengajarinya pecahan desimal itu pernah menginterogasi tujuh pembunuh profesional selama tiga hari tanpa menyentuh satu pun dari mereka.

Lukman duduk, membuka halaman-halaman buku, lalu mulai menjelaskan soal matematika di meja kayu yang sudah bolong oleh bekas tangan kasar anak-anak sekolah dasar.

Di luar jendela, kabut mulai hilang. Dan tepat di momen itulah, getaran kecil muncul dari ponselnya.

Notifikasi tanpa layar. Hanya getaran ritmik. Tiga kali.

Lukman pura-pura merapikan spidol, lalu mengedip ringan. Pola getaran itu bukan pesan biasa. Itu kode darurat tingkat rendah, bukan panggilan operasi, tapi tanda bahwa gerak-gerik seseorang sedang mendekatinya.

Ia tetap mengajar. Tetap tersenyum.

Namun pupilnya mengecil, seperti mata kucing yang baru mencium darah ikan.

Siang menjelang. Panas Banten merambat sampai desa. Guru-guru lain pulang cepat, tapi Lukman sengaja berjalan berkeliling sekolah, memastikan semua anak sudah dijemput. Dalam kesunyian itu, ia merasakan sesuatu yang berubah. Udara menjadi berat. Aroma bensin samar tercium di antara semak belakang kantin.

Tiga lelaki berdiri di dekat pintu gerbang sekolah, mencoba terlihat seperti penduduk lokal, tetapi sepatu mereka terlalu bersih dan posisi berdirinya terlalu formal.

Lukman menunduk, memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya. Mereka mengikutinya.

Satu laki-laki berkumis mendekat.

“Pak, tau jalan ke pasar?”

Lukman tersenyum. “Oh, jalan kaki atau motor?”

Laki-laki itu memberi kode ke dua temannya. Lukman berpura-pura tidak melihatnya.

“Kalau jalan kaki...”

Sebuah tangan kasar mencengkeram bahunya.

“Jangan macam-macam, Lukman,” kata si berkumis dengan suara pelan. “Bos kami ingin bicara.”

Hening. Lukman mengangkat wajah perlahan. Sorot matanya berubah. Dalam dan gelap sekali.

Lihat selengkapnya