Ruang rapat lantai 17 itu dipenuhi cahaya keemasan dari langit sore. Kaca jendela memantulkan panorama kota yang bergerak pelan seperti sungai cahaya. Di tengah ruangan, seorang perempuan duduk tegak, dengan senyum halus yang mampu menenangkan orang yang paling cemas sekalipun.
Julia Manuputty, PR Specialist. Ahli diplomasi. Sang penguasa meja perundingan.
Namun senyum yang terpasang di wajahnya sore itu menyembunyikan sesuatu yang lebih tajam dari semua kata-kata yang diucapkannya.
Negosiasi Dimulai
“Baik, Ibu Julia,” kata direktur utama perusahaan multinasional itu. “Kami… sebenarnya sudah condong ke pihak lain.”
Semua eksekutif menatap Julia, seakan menunggu bagaimana ia menanggapi ketidaksetujuan halus itu.
Namun Julia hanya tersenyum tipis. Senyum seperti kain sutra yang menutup pedang.
“Pak Rinaldo,” katanya lembut, “perusahaan Anda ingin masuk pasar Asia Tenggara. Klien kami sudah punya jaringan 15 tahun di sana.”
Ia membuka beberapa dokumen, gerakannya halus namun tegas.
“Jika Anda bekerja sama dengan pihak lain, mereka akan memberi anda pintu masuk.”
Julia menatapnya dalam. Hening tiga detik. Kalimat itu melesat tepat pada sasaran. Beberapa eksekutif saling menatap.
Pak Rinaldo menghela napas, lalu tertawa kecil.
“Ibu Julia… anda selalu berhasil mematahkan keraguan saya.”
Julia menutup map rapat.
“Boleh saya anggap kerja sama kita resmi?”
“Dengan senang hati.”
Tepuk tangan kecil terdengar. Para eksekutif berdiri, menyalami satu per satu.
Julia tersenyum seperti kemenangan itu mudah, padahal ia menghitung setiap kata, setiap detik, setiap tatapan selama satu jam terakhir.
Ini dunia Julia. Dunia yang tampak rapi, elegan, dan penuh kepastian.
Sayangnya…