Kelompok Sagitarius

Topan We
Chapter #5

Pertemuan Tak Terduga

Lobby Hotel Alindra selalu dipenuhi wangi kopi dan parfum mahal, tempat di mana orang-orang kaya, para waiters, dan mereka yang ingin menyembunyikan identitas, berbaur tanpa saling tanya. Pada malam itu, lampu-lampu gold-warm menyala lembut, memantulkan siluet para tamu. Dari luar, hujan turun pelan, memukul-mukul kaca besar seperti mengetuk waktu.

Dan di sanalah, tanpa rencana, tanpa janji, empat orang yang hidupnya terpisah dan tidak saling mengenal, berjalan ke arah yang sama. Empat orang yang di bawah sadar memikul sesuatu yang serupa. Empat orang yang kelak menjadi sebuah tim dan menamainya "Kelompok Sagitarius", yang akan membuat babak baru dunia ini bergerak.

Lukman masuk pertama.

Dia baru saja kembali dari hutan perbatasan, sisa keringat masih menempel di kerah flanelnya. Tangannya penuh luka gores yang tak sempat dibersihkan, tetapi wajahnya tenang.

Orang-orang mungkin mengira ia seorang pendaki gunung, mereka tak akan pernah menebak bahwa ia baru saja menyelamatkan dua anak dalam operasi yang tidak ada dalam sistem kepolisian mana pun.

Ia datang ke hotel hanya untuk satu hal: menyerahkan rekaman, kamera kecil yang ia selipkan di tas seorang target. Rekaman itu berisi bukti perdagangan anak yang lebih besar dari yang ia duga. Seseorang yang menunggu di lantai 8 akan mengambilnya.

Lukman duduk di sofa dekat pilar. Ia mengamati lobby seperti seekor serigala yang memetakan hutan baru. Setiap orang ia nilai: yang bohong, yang takut, dan yang menyembunyikan sesuatu.

Lalu seseorang lewat, dan langkah Lukman berhenti berdetak sejenak.

Wanita itu… energi tubuhnya beda. Seperti pernah bersinggungan dengan bahaya.

Julia baru turun dari lantai 12 setelah menyelesaikan rapat yang melelahkan. Penampilannya rapi, rambut disanggul elegan, kemeja putih tanpa cacat, dan raut wajah yang sama sekali tidak menampilkan kecemasan.

Ia masuk hotel sore tadi untuk urusan bisnis, negosiasi akuisisi properti milik perusahaan asing. Rapat berjalan sukses. Semua orang menganggap Julia adalah wanita yang selalu menang, yang selalu tahu cara mengalahkan lawan.

Tidak ada satu pun yang tahu bahwa beberapa waktu lalu, ia sempat menyelinap dan menolong seorang wanita berusia 21 tahun asal Indonesia yang baru saja dipulangkan dari Filipina, yang ditahan dua pria, korban perdagangan manusia yang hendak dibawa lewat jalur rahasia. Julia berhasil menaklukkan dua pria itu dengan senyap.

Kini Julia turun dengan raut wajah profesional, seolah semuanya biasa.

Namun kali ini tubuhnya menyimpan ketegangan. Ketika ia melintas di lobby, ia merasakan seseorang memperhatikannya.

Matanya menangkap sosok seorang pria, flanel biasa, namun memiliki tatapan yang berbeda dari orang pada umumnya, tajam.

Ia mengenal tipe seperti itu, orang yang punya alasan untuk tetap waspada. Julia tidak berhenti. Ia hanya menatap balik sebentar. Entah kenapa, ada sebuah koneksi aneh. Seperti dua bidak catur yang baru menyadari mereka berada dalam permainan yang sama.

Ia pura-pura fokus pada ponselnya sambil memesan kopi.

Leo datang lewat pintu samping setelah ia mengantar klien VIP dari pesta sore tadi. Tubuhnya masih dipenuhi adrenalin bekas insiden, ketika ia menggagalkan pembunuhan hanya dengan sebuah silet kecil. Kliennya selamat. Pelaku kabur dalam kondisi berdarah. Polisi tidak pernah tahu apa yang terjadi.

Leo sengaja mampir ke hotel ini sebelum pulang untuk memastikan satu hal: apakah ada orang yang akan mengikuti kliennya. Biasanya hotel menjadi titik singgah intel kecil dari berbagai kelompok.

Ia berjalan pelan di lobby, tas bodyguardnya tersampir miring. Sorot matanya menyapu ruangan, bukan mencari ancaman… tapi memastikan ancaman tidak mengincar dirinya.

Lalu ia melihat dua hal aneh, pria berbaju flanel dengan tatapan binatang liar, dan wanita berpenampilan corporate tapi bahunya tegang.

Leo menghela napas kecil. Dua orang itu bukan orang biasa.

Ia tidak mengenal mereka. Tapi naluri memberitahunya, jika dua orang punya mata seperti itu, mereka pasti pernah melihat kematian dari jarak yang sangat dekat.

Leo memutuskan duduk tidak jauh dari mereka. Ia ingin mengawasi. Hanya untuk berjaga-jaga.

Hujan hampir berhenti ketika Riana masuk lobby hotel.

Ia baru selesai mengantar rombongan tamu VIP yang tanpa sepengetahuannya, diincar hacker asing. Sisi “kepribadian kedua”-nya mengambil alih tadi siang, namun sekarang ia sudah kembali menjadi dirinya sendiri.

Setidaknya, itu yang ia yakini.

Riana masuk sambil memegang payung, sedikit kuyup. Ia hanya ingin ke toilet dan merapikan diri. Namun begitu masuk lobby, tubuhnya merinding. Bukan karena dingin. Karena tiga orang di ruangan itu menatap dunia dengan cara yang sama seperti dirinya.

Bukan mereka menatap dirinya, melainkan cara mereka memandang bahaya, hampir seperti seorang pemburu mencari taring musuh dalam gelap.

Riana menelan ludah. “Kenapa suasananya… berat sekali?”

Ia masuk lebih dalam, melewati meja resepsionis. Pandangannya bertemu dengan pria berbaju flanel, yang matanya seperti pernah hidup di gunung yang penuh ancaman. Pria itu hanya mengangguk pelan.

Tepat setelah itu, wanita bersanggul rapi di dekat bar menatapnya, seolah menilai apakah Riana adalah kawan atau musuh. Lalu pria lain, yang duduk bersandar pada sofa dengan tas bodyguard, meliriknya dengan ekspresi "aku tahu kau juga mungkin seperti mereka."

Riana ingin pergi secepat mungkin.

Namun langkahnya terhenti ketika kepribadian keduanya berbisik dari dalam,

“Kau tidak bisa meninggalkan tempat ini. Mereka… sama sepertimu.”

Dadanya tiba-tiba sesak.

Malam itu, dunia bergerak sedikit lebih cepat. Keempat orang itu tak pernah bertemu sebelumnya. Tidak saling mengenal. Tidak punya hubungan apa pun.

Namun entah mengapa, saat mereka berada dalam jarak yang semakin dekat, udara di antara mereka seperti bergetar, menggantung, dan mengikat.

Ada sebuah “tarik” yang tidak terlihat, seperti magnet yang tidak ingin bersatu.

Masing-masing merasa, aku seharusnya mengabaikan orang-orang ini. Aku harus tetap waspada. Kenapa mereka seperti mengenal diriku? Siapa mereka sebenarnya?

Belum ada kata yang keluar. Belum ada percakapan. Belum ada pengakuan.

Hanya tatap-tatap singkat yang seakan mengatakan “Kita akan menjadi sebuah tim yang akan menolong orang-orang lemah dan menghancurkan para ban*sat-ban*sat itu."

Hujan telah reda sedari beberapa menit lalu. Para tamu mulai berdatangan untuk acara gala dinner di lantai 2. Musik jazz lembut mengalun, pelayan berlalu-lalang membawa nampan berisi champagne dan camilan kecil.

Di tengah keramaian itu, empat orang yang seharusnya tidak pernah bertemu, mulai mengorbit satu sama lain.

Belum ada yang menyadari bahwa pertemuan ini adalah titik awal runtuhnya kerajaan mafia terbesar di Indonesia.

Bahkan mungkin para dewa sedang bertepuk tangan karena melihat mereka berempat sudah berada dalam satu tempat.

Julia memegang kopi di tangan, tetapi matanya diam-diam memindai ruangan. Her instinct, yang selama ini menjadi penyelamatnya, berteriak pelan.

Pria flanel itu… tatapannya seperti milik seseorang yang sudah siap mati kapan saja demi misi.

Pria dengan tas bodyguard itu… gerak bahunya ringan, stabil. Seperti orang yang terbiasa menembak sambil berlari.

Dan perempuan di dekat pilar itu… ada sesuatu yang tidak biasa dalam caranya melihat pintu-pintu darurat. Seolah ia menghitung waktu untuk melarikan diri.

Julia menyipitkan mata.

Siapa mereka? Kenapa rasanya seperti aku tidak sendirian di dunia gelap ini?

Ia mencoba mengabaikan. Tetapi perempuan itu, Riana, tiba-tiba menatapnya. Tatapan itu bukan sekadar tatapan orang asing. Itu tatapan seseorang yang punya dua kepribadian…dan ia sedang berusaha mencegah salah satunya keluar. Julia sudah mengenal orang-orang yang memiliki keterbatasan, maupun kemampuan yang mempuni.

Julia terkejut. Dia… berbahaya.

Namun sebelum Julia sempat memalingkan wajah, Riana tersenyum. Sopan. Ringan. Seolah tidak ada sesuatu yang retak di dalam dirinya.

Julia membalas senyuman itu, tapi dadanya mengeras.

Di sisi lain, Lukman yang duduk di posisi mengamati pintu keluar sedikit menunduk, pura-pura membaca buku. Tapi matanya menangkap semua itu. Empat orang asing. Dengan motif berbeda. Dengan penuh rahasia besar. Dan ada sesuatu yang menghubungkan mereka, tapi apa?

Leo yang paling cepat menyadari perubahan suasana.

Lihat selengkapnya